POJOKNEGERI.COM - Kondisi kelas menengah hingga bawah di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Di tengah laju pendapatan yang stagnan, tekanan inflasi dari bahan pangan masih sangat tinggi, membuat daya beli mereka semakin melemah.
Sejumlah ekonom senior di dalam negeri menganggap tekanan terhadap daya beli kelas menengah maupun kelas bawah berbahaya bagi suatu negara jika terus menerus didiamkan oleh pemerintah dan tak dicarikan solusi dari sisi pendapatan maupun pemenuhan kebutuhan mereka.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didin S. Damanhuri mengungkapkan, semakin tertekannya daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah sebetulnya tergambar jelas dari tingginya inflasi bahan makanan, minuman, dan tembakau pada Mei 2024 yang mencapai 6,36%.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan tekanan inflasi sejumlah barang yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas, seperti rekreasi, olahraga, budaya yang hanya 1,68% inflasinya secara tahunan, begitu juga kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar yang juga hanya sebesar 0,75%.
"Jadi yang harus kita lihat sebenarnya kelompok pengeluaran US$ 2,15 dolar yang menurut World Bank ada 168 juta orang di Indonesia terkena penurunan daya beli yang signifikan, sementara orang kaya itu inflasinya rendah banget. Ini berarti secara keseluruhan ketimpangan makin buruk," ucap Didin S. Damanhuri.
Tengah lemahnya daya beli masyarakat ini juga sebetulnya tercermin dari data tabungan di Mandiri Spending Index per Mei 2024.
Tabungan golongan masyarakat miskin dan kelas menengah terus tertekan saat ini, berkebalikan dengan tabungan orang kaya di Indonesia naik sepanjang tahun ini, meskipun mereka terus belanja.
Indeks tabungan kelas atas pada periode itu naik ke level 109,9 dari Mei 2023 di kisaran 90.
Sementara itu, indeks belanjanya terus terjaga di kisaran 100.
Per Mei 2024, angka indeksnya di posisi 110, sedangkan pada Mei 2023 juga masih berada pada kisaran 110.
Adapun indeks tabungan kelas menengah turun dari sekitar 100 menjadi hanya 94 dengan indeks belanja di level 122 dari kisaran 129.
Indeks tabungan kelas bawah hanya 41,3 dari kisaran 80, sedangkan indeks belanjanya 114,7 dari kisaran 100.
Kelompok bawah dalam Mandiri Spending Index ialah konsumen dengan rata-rata tabungan di bawah Rp 1 juta, kelompok menengah antara Rp 1 juta sampai dengan Rp 10 Juta, dan kelompok atas tabungannya di atas Rp 10 juta.
Tak heran tabungan kelas menengah dan bawah itu terus menyusut demi mempertahankan konsumsi kebutuhan pokok mereka, sebab berdasarkan catatan Bank Indonesia kenaikan gaji atau upah pekerja di Indonesia naiknya jauh lebih rendah dari kenaikan inflasi bahan pangan bergejolak (volatile food).
Per Maret 2024, secara tahunan kelompok volatile food mengalami inflasi sebesar 10,33% (yoy), meningkat dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 8,47% (yoy).
Hingga Mei 2024 pun levelnya masih sebesar 8,14%.
Sedangkan, kenaikan rata-rata gaji ASN 2019-2024 sebesar 6,5% dengan catatan BI untuk periode 2020-2023 tak ada kenaikan gaji ASN.
Adapun, kenaikan UMR atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada 2020-2024.
Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri sudah berulang kali mengingatkan bahwa kondisi daya beli masyarakat kelas menengah yang tertekan tak bisa terus menerus dibiarkan, sebab akan mengganggu stabilitas politik dan sosial suatu negara.
Dia sempat membahas topik terkait permasalahan kelas menengah yang harus diurus negara itu saat menjadi pembicara di acara Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada awal tahun ini.
Saat itu, Chatib Basri mengatakan pemerintah perlu mulai fokus memperhatikan kondisi ekonomi dan kepentingan kelas menengah Indonesia, karena ada fenomena mencekam yang dikenal dengan fenomena Chilean Paradox.
Chatib mulanya menceritakan kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang mulai menggunakan tabungannya untuk konsumsi.
Dia mengatakan kondisi ini dialami oleh masyarakat kelas menengah ke bawah Indonesia.
Namun, pemerintah saat ini baru mengurus golongan miskin melalui pemberian bantuan sosial.
Sementara itu, kelas menengah yang daya belinya juga turun tak mendapatkan perhatian serius.
Komisaris Utama Bank Mandiri itu menceritakan pada September lalu sempat satu forum dengan mantan Presiden Chile Michelle Bachelet di Harvard Ministerial Forum di Harvard University.
Michelle saat itu bercerita tentang kemampuan negaranya mampu mereformasi perekonomian secara gemilang dengan mengurus kalangan masyarakat miskin, namun krisis sosial tetap terjadi yang nyaris menyebabkan revolusi di negara itu.
Chatib bilang krisis di Chile yang dijuluki The Chilean Paradox oleh Ekonom asal Amerika Serikat Sebastian Edwards terjadi ketika kondisi ekonomi negara itu sedang bagus-bagusnya.
Chile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin.
Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%.
Meski dengan semua pencapaian itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi.
Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Chile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan.
Chatib mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah Chile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% masyarakat terbawah.
Sementara itu, kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian.
"Sebagian policy-nya itu fokus pada sepuluh persen ke bawah," imbuh Chatib Basri. (*)