POJOKNEGERI.COM - Teringat suatu ungkapan Nenek dari Kampung Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu.
Bagaimana ia berujar kepada kami anak cucunya, bahwa dia memang bisa melahirkan manusia tetapi dia tidak bisa melahirkan tanah dan hutan, apa yang menjadi ungkapan dari seorang nenek dari penulis, sangat mengandung makna yang begitu mendalam bagi diri penulis sendiri, menjaga tanah dan hutan adalah bagian dari pada menjaga eksistensi Masyarakat Adat yang berada di kawasan Mahakam Ulu.
Masyarakat Adat Dayak di mana pun mereka berada, mau itu dari rumpun Apo Kayan, Klemantan, Iban, Punan, Ot Danum, dan Murut, yang tersebar di Negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei, tidak bisa dilepaskan kehidupannya dari namanya hutan.
Bagi Masyarakat Adat Dayak, tanah dan hutan merupakan suatu perwujudan bagi kekayaan pengetahuan mereka, mulai dari cara hidup mereka, keyakinan, musik-musik yang bersumber dari bunyi-bunyi alam, tarian yang mengadopsi dari gerak-gerik hewan di hutan, dsb.
Namun pada masa kini eksistensi dari kalangan Masyarakat Adat Dayak kian terimpotensi akibat dari ekspansi masuknya perusahaan-perusahaan berskala raksasa ke dalam wilayah tanah dan hutan mereka.
Masyarakat Adat Dayak maupun MA di wilayah Nusantara lainnya kerap kali berkonflik dengan pihak-pihak perusahaan maupun dari kalangan luar yang tidak mengerti akan kehidupan dari pada Masyarakat Adat.
Mereka yang merasa dirinya modern dan pintar kerap kali dengan seenaknya memberikan cap pada Masyarakat Adat. Memang jika kita melihat sungguh besar perbedaan alam dan jiwanya dari pada kedua kelompok masyarakat ini sehingga mayoritas Masyarakat Adat Dayak maupun MA lainnya kerap bertengkar dengan stigma maupun streotipe anti kemajuan, anti teknologi, anti pembangunan, terbelakang, dan berbagai cap negatif lainnya.
Orang yang cukup bekal ilmu pengetahuan di dalam pikirnya tidak diimbangi dengan wawasan mulut sebagai saluran pikir dari otak yang dikeluarkan dari pembuangan akhir yaitu mulut dalam mengeluarkan isi kepalanya.
Mengenai budaya Masyarakat Adat Dayak pada dekade tahun 60 sampai 70an di mana di tahun-tahun itu begitu masifnya perusahaan-perusahaan kayu, pertambangan, dan sawit merambah hutan perawan Kalimantan Timur, seturut dengan hal itu laki-laki maupun perempuan dari kalangan Suku Dayak Bahau di wilayah pedalaman Mahakam Ulu melakukan gerakan pemotongan telinga dan penghapusan rajah badan mereka.