Sejak Desember 2017, KIKA telah mengumpulkan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk membahas keadaan kebebasan akademik dan peluang untuk mendukung komunitas pendidikan tinggi, termasuk dengan mempromosikan Prinsip-Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik.
Siklus pelaporan ini melihat pembalikan yang mengganggu dari perbaikan yang dilaporkan sehubungan dengan kebebasan akademik yang telah dibuat sejak akhir rezim Suharto pada tahun 1998.
Menurut Academic Freedom Index (AFi)—alat yang dikembangkan oleh Global Public Policy Institute (GPPi), Friedrich-Alexander-Universität Erlangen-Nürnberg (FAU), V-Dem Institute, dan SAR—peringkat ahli untuk menghormati kebebasan akademik turun dari 0,75 pada tahun 2000 menjadi 0,65 (dari 1,00) pada tahun 2021.
Merosotnya kondisi jaminan kebebasan akademik, seperti yang ditunjukkan oleh AFi dan insiden yang dilaporkan dalam pengajuan UPR bersama, menimbulkan keprihatinan serius atas masa depan pendidikan tinggi Indonesia.
"Para akademisi dan mahasiswa memainkan peran penting dalam masyarakat sipil Indonesia yang dinamis,terutama mempromosikan keadilan sosial dan hak asasi manusia untuk secara terbuka membahas korupsi pemerintah dan masalah lingkungan," kata Daniel Munier, Senior Advocacy Officer di SAR.
"Komunitas pendidikan tinggi Indonesia sangat penting untuk masa depan negara dan membutuhkan kebebasan akademik dan dukungan dari para pemimpin pemerintah. Tanpa tanah subur, para sarjana dan mahasiswa Indonesia terhalang dalam kemampuan mereka untuk mendorong kemajuan ilmiah, sosial, ekonomi, dan budaya negara," lanjutnya lagi.
Menjelang peninjauan, yang dijadwalkan pada November 2022, KIKA dan SAR mendesak negara-negara anggota PBB untuk meminta Indonesia untuk lakukan beberapa hal, yakni:
1. Melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, otonomi universitas, dan hak asasi manusia terkait;