Dia melanjutkan, fenomena yang menjadikan kepala desa sebagai alat atau bagian dari politik tak sekadar pada acara kepala desa (APDESI) tersebut. Dia mengkritisi bahkan ketika ada Pilkada Gubernur maupun Pilkada Bupati, kepala desa juga dipergunakan untuk tujuan politik.
Menurutnya, dalam segi etika ada pemanfaatan ruang-ruang kosong oleh politik praktis di tingkat desa dan itu tidak diatur dalam regulasi.
"Apakah ini juga bagian dari kultur politik kita? Bahwa kita bagian ini adalah apa, patron-klien itu. Apa yang dikatakan patron, itu yang diikuti klien. Nah ketika bypass dari pusat ke desa tentang sehubungan seperti itu walaupun dalam konteks organisasi, apakah itu dibenarkan?" tanya Bahar mengelaborasi lebih lanjut.
Guru Besar Universitas Terbuka Hanif Nurcholis menyampaikan, awalnya desa hanya sebuah komunitas kecil. Status lurah/kepala desa lebih merujuk pada kaki tangan penguasa pusat.
Hal ini sebagaimana tertulis dalam teori administrasi negara primitif yang memiliki ciri di antaranya, negara sebagai personifikasi dewa, loyalitas bawahan kepada atasan melalui suap, serta tujuan negara yaitu keagungan raja dan keluarganya dengan upacara dan simbol kebesaran
"Pemerintah itu penguasanya, kepala desa itu kaki tangan penguasa ditambah dengan kepala badan hukum komunitas, dan rakyat desa sebagai wong kecil. Wong cilik yang dieksploitasi, yang diperas," ujarnya.
Jelas Hanif, struktur mental kepala desa secara natural merupakan model relasi kuasa antara penguasa, kepala desa, dan rakyat desa. Pola feodal ini sudah tertanam ratusan tahun membentuk mentalitas kepala desa sebagai penghamba dan penjilat penguasa, bukan sebagai pelayan dan pembela kepentingan rakyat desa.
Menurutnya, APDESI yang diketuai oleh Surtawijaya berpegang pada etika administrasi negara primitif warisan negara Mataram dan Hindia Belanda, bukan administrasi negara modern yang lebih berkembang.