Kaltim

DPRD Kaltim Soroti Rendahnya Kepatuhan Pajak Alat Berat Perusahaan Tambang dan Kontraktor

POJOKNEGERI.COM – Lemahnya kepatuhan perusahaan tambang dan kontraktor terhadap kewajiban pajak daerah menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Sorotan ini datang dari Sekretaris Komisi II DPRD Kaltim, Nurhadi Saputra, usai kunjungan kerja ke Kabupaten Kutai Barat (Kubar). Berdasarkan laporan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltim, dari 1.164 unit alat berat, hanya sekitar 30 persen atau 300 unit yang memenuhi kewajiban pajak.

Kondisi ini dinilai sebagai bentuk kebocoran potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

“Artinya, lebih dari seribu unit belum bayar. Ini angka yang sangat besar dan menunjukkan betapa lemahnya kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban mereka kepada daerah,” ujar Nurhadi di Gedung D DPRD Kaltim, Rabu (22/10/2025).

Menurutnya, ketidakpatuhan itu telah menghambat peningkatan PAD Kaltim, padahal pajak alat berat seharusnya menjadi salah satu sumber penting untuk memperkuat keuangan daerah.

“Kalau ini dikelola dengan serius, kontribusinya bisa signifikan untuk pembangunan. Tapi nyatanya, banyak perusahaan yang mengabaikan,” ujarnya.

Nurhadi menyebut Gubernur Kaltim juga menaruh perhatian besar terhadap rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan dalam membayar pajak alat berat. Pemerintah provinsi tengah berupaya mendorong Bapenda agar melakukan langkah-langkah tegas dan sistematis untuk menertibkan perusahaan nakal.

Sebagai contoh, ia menyoroti PT Pama Persada Nusantara (Pama), salah satu kontraktor tambang terbesar di Kaltim. Meski telah menyumbang sekitar Rp1 miliar pajak ke kas daerah, jumlah itu dinilai belum mencerminkan kapasitas dan keuntungan perusahaan.

“Perusahaan ini punya laba bersih mencapai Rp13,6 triliun. Kalau hanya setor satu miliar, jelas kontribusinya sangat kecil. Harus ada keberpihakan moral dari korporasi besar untuk membantu daerah tempat mereka beroperasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Nurhadi mengungkapkan alasan klasik yang sering digunakan perusahaan untuk menunda pembayaran pajak: persoalan batas wilayah operasi antarprovinsi. Banyak perusahaan beralasan sebagian area kerjanya berada di Kalimantan Tengah (Kalteng), sehingga khawatir dikenai pajak ganda.

“Beberapa perusahaan mengaku beroperasi di dua provinsi, jadi mereka takut bayar di satu sisi, nanti diminta juga di sisi lain. Tapi alasan ini tidak bisa dijadikan pembenaran untuk tidak membayar sama sekali,” tegasnya.

Ia menilai, masalah ini seharusnya diselesaikan melalui koordinasi antarprovinsi dan integrasi sistem pendataan agar tidak ada lagi tumpang tindih klaim wilayah.

“Bapenda harus segera duduk bersama dengan pemerintah provinsi lain untuk memastikan kejelasan area pajak. Kalau tidak, masalah ini akan terus berulang,” katanya.

Melihat kondisi tersebut, Komisi II DPRD Kaltim meminta Bapenda untuk memperkuat fungsi pengawasan di lapangan. Nurhadi menilai, data yang dilaporkan perusahaan tidak bisa sepenuhnya dipercaya tanpa verifikasi langsung.

“Bisa saja mereka melapor hanya tiga alat berat, padahal di lapangan ada sepuluh. Tujuh lainnya tetap beroperasi tapi tidak tercatat. Jadi kita butuh pengawasan yang benar-benar aktif dan tidak hanya menunggu laporan,” ujarnya.

Ia memastikan, dalam waktu dekat Komisi II akan memanggil perusahaan-perusahaan yang belum taat pajak untuk dimintai klarifikasi. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk tekanan politik agar perusahaan menyadari pentingnya kontribusi bagi daerah.

“Kalau mereka terus mengabaikan, tidak menutup kemungkinan kita dorong adanya sanksi administratif atau bahkan pembatasan izin operasi,” tegasnya.

Kaltim selama ini dikenal bergantung pada sektor batu bara dan migas. Namun, menurut Nurhadi, daerah tidak boleh terus bergantung pada sumber daya alam yang kian menipis. Pajak alat berat menjadi salah satu sektor nonmigas yang berpotensi besar menopang ekonomi daerah jika dikelola serius.

“Kita selalu bicara diversifikasi ekonomi, tapi kalau potensi yang sudah ada saja tidak dimaksimalkan, bagaimana mau mandiri? Pajak alat berat ini bisa jadi sumber PAD yang stabil dan berkelanjutan,” jelasnya.

Ia menambahkan, Bapenda perlu memperkuat sistem digitalisasi dan integrasi data dengan dinas teknis lain seperti Dinas ESDM dan Dinas Perhubungan agar pergerakan alat berat bisa terpantau secara transparan. “Kalau sistemnya terintegrasi, tidak ada lagi ruang untuk manipulasi data,” tambahnya.

Untuk mengakhiri praktik pembiaran, Komisi II berencana mengusulkan revisi atau pembentukan peraturan daerah (perda) baru yang lebih tegas dalam mengatur kepatuhan pajak alat berat. Regulasi tersebut akan mencakup mekanisme penagihan, pengawasan digital, hingga sanksi tegas bagi perusahaan yang mangkir.

“Kalau aturan masih longgar, mereka akan terus bermain. Kita butuh dasar hukum yang kuat agar Bapenda bisa menindak langsung,” jelas Nurhadi.

Ia menekankan, persoalan pajak alat berat bukan semata soal administrasi, tetapi juga soal tanggung jawab sosial dan moral perusahaan terhadap daerah.

“Mereka sudah menikmati hasil bumi Kaltim. Wajar jika mereka juga ikut berkontribusi melalui pajak. Ini bentuk keadilan bagi masyarakat,” tandasnya.

Dengan lebih dari 1.100 unit alat berat belum bayar pajak, potensi kebocoran PAD Kaltim diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah setiap tahunnya. Komisi II berharap pemerintah provinsi segera mengambil langkah konkret untuk menertibkan sektor ini.

“Kalau semua perusahaan taat, Kaltim bisa menambah PAD tanpa harus menunggu dana pusat. Tapi kalau dibiarkan, kebocoran ini akan terus berulang,” ujar Nurhadi menutup.

(tim redaksi)

Show More
Back to top button