POJOKNEGERI.COM - Sabtu pagi, saat Greysia Polii/Apriyani Rahayu menjadi tim ganda putri Indonesia pertama yang mencapai final bulu tangkis di Olimpiade, kegembiraan kedua putri bergema di sekitar arena yang hampir kosong.
Dengan dilarangnya penonton untuk sebagian besar tempat Olimpiade karena pandemi COVID-19, tidak ada yang biasa meneriakkan"IN-DO-NE-SIA!", mengkreasikan nyanyian, atau dentuman petir keras yang biasanya mengiringi kemenangan para pemain.
Namun ribuan mil dari stadion, di tanah air mereka, legiun penggemar bulu tangkis Indonesia sangat senang.
Di antara mereka adalah Cindy Susanti, 33, seorang fotografer, yang bangun pagi untuk menonton setiap pertandingan bulu tangkis di Olimpiade.
Dari apartemennya di Jakarta Utara, Susanti berteriak kegirangan saat Polii dan Rahayu meraih kemenangan dua set langsung: 21-19 dan 21-17.
“Ada orang di bawah unit apartemen saya yang juga menonton pertandingan. Saya bisa mendengar teriakan mereka dari sini,” Susanti tertawa.
“Mereka berteriak IN-DO-NE-SIA!” katanya.
Bulu tangkis memiliki banyak pengikut di Asia Pasifik dan Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu raksasa olahraga terkenal.
Tidak hanya karena pemainnya yang berbakat tetapi juga semangat para penggemarnya; dedikasi yang tidak pernah padam bahkan di tengah pandemi yang terjadi saat ini.
Susanti menyukai permainan ini sejak kecil. Dia ingat banyak siswa akan membawa raket dan shuttlecock ke sekolah dan bermain selama kelas pendidikan jasmani dan waktu istirahat.
“Saya akan pergi ke rumah tetangga saya untuk menonton pertandingan karena mereka memiliki televisi berwarna. Milik saya masih hitam putih,” kenangnya, seraya menambahkan bahwa dia akan berusaha untuk tidak melewatkan satu turnamen pun.
Sejak tinggal di Jakarta, ia bertekad untuk pergi ke stadion indoor Istora, tempat olahraga top negara itu, setiap tahun untuk menonton Indonesia Open.
Menang dan kalah
Menjadi penggemar bukan tanpa kekecewaan, tentu saja.
Pada hari Sabtu yang sama saat duet putri Indonesia menorehkan sejarah, Cindy juga menyaksikan pasangan ganda putra semusim, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, kalah dari Aaron Chia/Wooi Yik Soh dari Malaysia.
“Ada kalanya tim nasional kami tidak menang seperti yang kami harapkan, tetapi saya akan selalu ada untuk mereka,” katanya.
“Saya akan selalu menjadi pendukung yang bangga.” katanya.
Indonesia memenangkan dua medali emas pertamanya dari bulu tangkis – tunggal putri dan putra – di Olimpiade 1992 di Barcelona, ketika bulu tangkis pertama kali menjadi ajang Olimpiade.
Sebagian besar kejayaan Olimpiade Indonesia datang dari cabang olahraga yang didominasi negara-negara di Asia Pasifik.
Hanya 13 dari 116 medali yang dianugerahkan dalam turnamen tersebut yang diberikan kepada atlet non-Asia.
“Karena bulu tangkis, Indonesia bisa dikenal secara global,” kata Broto Happy, juru bicara Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) kepada Al Jazeera.
Happy, yang merupakan jurnalis olahraga senior sebelum bergabung dengan PBSI pun mengatakan tim bulu tangkis Indonesia adalah kebanggaan nasional.
Dia mengingat kemenangan penting pertama ketika tim bulu tangkis memenangkan Piala Thomas, turnamen bulu tangkis paling bergengsi, di Singapura pada tahun 1958, hanya 13 tahun setelah kemerdekaan.
Hingga saat ini, Indonesia telah menorehkan kemenangan terbanyak di Piala Thomas, dengan 13 kemenangan. China berada di belakangnya dengan sembilan kemenangan.
Indonesia juga telah memenangkan beberapa gelar di All England Championships, turnamen bulu tangkis tertua di dunia, di mana ia berada di posisi keempat dalam hal keseluruhan kemenangan dengan 48 gelar, di belakang China dengan 85, Denmark dengan 88, dan Inggris dengan 189.
“Di negara kita bulu tangkis adalah satu-satunya olahraga yang memiliki pusat latihan nasional,” kata Happy.
“Kami juga memiliki asrama. Jadi pemain bulu tangkis kami bisa berlatih di sana tanpa gangguan sepanjang tahun. Bahkan saat pandemi. Yang harus mereka lakukan adalah fokus pada pelatihan mereka.” ujarnya.
Happy menempatkan kecintaan Asia pada bulu tangkis juga dikarenaka aksesibilitas dan reputasinya sebagai olahraga yang dapat dimainkan oleh siapa saja, di mana saja.
“Ketika saya masih kecil, saya bisa memainkannya di depan rumah saya,” katanya.
“Orang terkadang bermain di gang kecil. Bayangkan jika itu tenis, Anda akan membutuhkan lapangan yang lebih besar, dan lapangan yang lebih baik, dan alat yang lebih mahal. Tapi dengan bulu tangkis saat shuttlecock sudah aus, anak-anak masih bisa memainkannya,” ujarnya.
Happy juga mengatakan dia percaya itu juga memungkinkan atlet Asia untuk bermain dengan kekuatan mereka.
“Olahraga ini tidak membutuhkan seseorang yang memiliki tubuh tinggi atau tegap. Tidak apa-apa kalau kecil asal lincah dan atletis,” ujarnya.
Gairah yang dirasakan banyak orang
Pecinta bulu tangkis Indonesia juga mencurahkan seluruh uang mereka untuk menonton dan mendukung pahlawan nasional mereka.
Sebagai mahasiswa di Jawa Timur, Arofah biasa menabung uang sakunya agar bisa jalan-jalan ke Jakarta bersama kedua sahabatnya untuk menonton pertandingan bulu tangkis secara langsung, berbagi kamar hotel agar perjalanan lebih terjangkau
Salah satu perjalanan paling berkesan baginya adalah saat digelarnya Total Badminton World Federation (BWF) pada tahun 2015.
“Suatu hari kami menghabiskan lebih dari 12 jam di dalam stadion Istora, menonton turnamen kelas dunia ini,” kata Arofah.
“Itu sangat berharga. Tidak ada yang mengalahkan perasaan berdiri di sana dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia dengan seluruh stadion. Saya tidak akan pernah melupakan itu.” katanya.
Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap bulu tangkis bukan tanpa patah hati. Suporter telah melihat pasang surut timnas Indonesia, termasuk di tahun 2012 ketika timnas tidak membawa pulang medali dari Olimpiade London.
Djoko Pekik Irianto, pakar olahraga dari Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan penting bagi Indonesia untuk memastikan ada pemain muda yang naik peringkat untuk memastikan kesuksesan internasional yang berkelanjutan. Dalam hal ini adalah regenerasi.
“Ganda putra bangsa kita didominasi oleh pemain lama kita seperti Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan,” kata Irianto.
Ahsan dan Hendra kini masing-masing berusia 33 dan 36 tahun. Hingga Selasa, mereka saat ini berada di peringkat kedua untuk ganda putra di Peringkat Dunia BWF, di belakang Marcus Fernaldi Gideon yang berusia 30 tahun dan Kevin Sanjaya Sukamuljo yang berusia 24 tahun, yang juga dari Indonesia
“Di tim putri, bahkan lebih sulit [untuk melihat talenta baru]. Jadi, masalahnya ada di regenerasi. Kita perlu mencari lebih banyak talenta lintas daerah, untuk menemukan talenta yang bisa menggantikan atlet seperti Liliyana Natsir dan lainnya,” ujarnya.
Irianto berharap Indonesia bisa lebih mengembangkan pemainnya untuk menyamai kesuksesan tahun 1990-an.
“Kami berharap Indonesia bisa menghidupkan kembali masa-masa kejayaan itu, sehingga ketika orang berpikir tentang Indonesia, mereka akan memikirkan bulu tangkis,” kata Irianto.
Sementara itu, di rumahnya di Sumatera Utara, Arofah menanti laga final Senin nanti.
“Kami rindu meneriakkan IN-DO-NE-SIA untuk tim nasional kami di Istora.” ujarnya.
(redaksi)
Sumber: Aljazeera