Mereka pindah ke kota-kota besar Kekhalifahan Abbasiyah, dan mulai fokus dalam berbagai profesi berbasis literasi dan pendidikan.
Ini dianggap jauh lebih menguntungkan daripada bertani.
Dalam buku The Chosen Few: How Education Shaped Jewish History karya Maristella Botticini dan Zvi Eckstein, yang dikutip Haaretz, menyebutkan peristiwa traumatis penghancuran kuil menyebabkan upaya mengikis buta huruf di setiap warga Yahudi meluas.
Proses tersebut menyiapkan orang-orang Yahudi memiliki peran dalam kebangkitan ekonomi kerajaan Muslim, karena memiliki keterampilan sesuai kebutuhan.
Orang-orang Yahudi kemudian pindah ke tempat-tempat seperti Yaman, Suriah, Mesir hingga Eropa Barat.
Mereka meyakini keterampilan yang dimiliki sangat dibutuhkan di wilayah tersebut.
Kemudian pada abad 1100-1200 M, pemberi pinjaman uang menjadi pekerjaan khas Yahudi di Inggris, Prancis, dan Jerman.
Di negara seperti Spanyol, Portugal, Italia, dan Eropa Barat lain profesi tersebut bahkan menjadi mata pencaharian utama.
Identitas yang kuat memungkinkan orang Yahudi mempertahankan ikatan primordial terlepas dari mana mereka berasal.
Selain itu, ikatan tersebut berguna menegakkan perjanjian kontrak dari jauh, sesuatu yang sangat membantu dalam perdagangan.
Fenomena itu bisa menjadi alasan kesuksesan orang Yahudi yang memilih profesi berkaitan dengan kredit dan pasar uang.
Di sisi lain, orang Yahudi Eropa yang berprofesi sebagai peminjaman uang karena mereka dilarang menjadi anggota serikat pengrajin.
Gereja-gereja di Eropa dan Islam juga melarang praktik riba.
Dalam buku karya Botticini dan Eckstein menjelaskan orang Yahudi di Eropa Barat menjadikan peminjaman uang sebagai pekerjaan karena mereka memiliki keterampilan dan kondisi yang tepat.
Keterampilan itu berupa kemampuan membaca dan menulis, dan kecakapan matematika.
Orang-orang Yahudi juga memiliki sarana kelembagaan untuk menegakkan kontrak terkait perputaran uang dan modal serta jaringan yang memungkinkan mereka berkomunikasi satu sama lain di antar sesama diaspora Yahudi.
(redaksi)