POJOKNEGERI.COM - Banyak yang menilai kaum Yahudi merupakan golongan bangsa pintar, benarkah demikian?
Anggapan itu didukung dengan munculnya ilmuwan terkemuka hingga penguasa teknologi yang tak sedikit berasal dari Yahudi, di antaranya Albert Einstein, Franz Kafka, hingga CEO Facebook Mark Zuckerberg.
Tokoh penguasa teknologi lain yakni CEO Microsoft Steve Ballmer, Co-founder Google Sergey Brin, dan pendiri perusahaan komputer Dell, Michael Dell.
Keberhasilan intelektual Yahudi di era modern dan keunggulan mereka dalam pekerjaan di berbagai bidang sudah lama menjadi pembicaraan.
Pandangan soal Yahudi yang identik dengan pintar tak serta merta muncul begitu saja.
New York Times melaporkan Yahudi sebagai agama memiliki tradisi yang berbeda dari agama lain.
Kepercayaan ini menekankan umatnya berdiskusi terkait isi Taurat, tak hanya mengamati serta mematuhi kitab itu.
Namun, semua berubah ketika Romawi menguasai Yerusalem dan Mesir pada abad pertama Sebelum Masehi.
Kemudian pada 40 M, Kaisar Caligula menerapkan kebijakan anti-Yahudi.
Ia berusaha menaruh patung sendiri di Kuil Besar Yerusalem.
Kericuhan pun tak bisa dihindari.
Penguasa Romawi pada waktu itu menganggap Yahudi mengancam kekuasaan mereka.
Stigma tersebut berkembang dari generasi ke generasi sehingga menjadikan bangsa ini sebagai musuh bersama.
Lalu pada 66 Masehi, orang Yahudi memberontak.
Kekaisaran Romawi merespons dengan menghancurkan Kuil Kedua dan memerangi Yahudi.
Kemudian pada 70 M, orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem.
Pengamat yang fokus di kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengatakan hidup bangsa Yahudi penuh tantangan sejak saat itu.
"Sejak saat itu mereka memutuskan fokus pada ritual dan membaca Taurat. Kehidupan yang susah dan penuh tantangan membuatnya mengejar pendidikan [ilmu pengetahuan]," kata Yon dilansir dari CNN Indonesia.com, Jumat (20/1).
Penaklukan Romawi atas Yerusalem dan penghancuran Kuil mengubah "pusat gravitasi" Yudaisme.
Dari imamat atau kepemimpinan di Yerusalem menjadi komunitas rabi dan cendekiawan yang menyebar.
Artinya dari yang mulanya di kuil menjadi ruang belajar agama yang lebih luas.
Dengan tidak adanya tempat ibadah, orang-orang Yahudi berusaha menciptakan alternatif lain.
Di tengah kesulitan itu, bangsa Yahudi tetap membaca dan mempelajari Taurat.
Untuk menjamin tradisi ini terus berlangsung, setiap laki-laki bertugas membekali anaknya sejak dini dengan kemampuan membaca dan menulis.
Namun, mereka menghadapi masalah lain.
Untuk menanamkan melek huruf dan mengajarkan Taurat perlu biaya tinggi.
Sementara itu, banyak masyarakat Yahudi berprofesi sebagai petani dan hidup miskin, demikian dikutip Haaretz.
Di masa itu, banyak orang Yahudi yang dilema: menanggung beban finansial dan pendidikan dengan berpegang teguh pada Yudaisme atau meninggalkan ajaran ini dengan demikian bisa mengurangi pengeluaran untuk literasi.
Bagi orang Yahudi yang dianggap memiliki tradisi beragama yang lemah tergoda memilih alternatif yang lebih mudah.
Dengan kata lain, sebagian orang Yahudi akan berasimilasi dan menyebabkan penyusutan populasi komunitas ini.
Kemudian pada pertengahan abad ke-7 atau sekitar 660 M, terjadi perjumpaan bersejarah antara orang Yahudi dan Islam.
Di masa ini, Dinasti Umayyah menguasai semenanjung Iberia hingga China.
Dinasti Umayyah menciptakan bahasa dominan yakni Arab, lembaga, dan hukum baru. Seiring berjalannya, waktu kerajaan semakin berkembang.
Mereka mendirikan kota-kota baru dan memperluas industri serta perdagangan.
Gelombang globalisasi dan urbanisasi itu kemudian memicu peningkatan permintaan tenaga profesional dengan keterampilan intelektual.
Pengaruh perubahan tersebut sangat signifikan bagi orang Yahudi.
Kemudian sekitar 750 M, Dinasti Umayyah runtuh dan diganti Dinasi Abasiyyah.
Di periode 750 hingga 900 M, hampir semua orang Yahudi di Mesopotamia dan Persia meninggalkan pertanian.
Mereka pindah ke kota-kota besar Kekhalifahan Abbasiyah, dan mulai fokus dalam berbagai profesi berbasis literasi dan pendidikan.
Ini dianggap jauh lebih menguntungkan daripada bertani.
Dalam buku The Chosen Few: How Education Shaped Jewish History karya Maristella Botticini dan Zvi Eckstein, yang dikutip Haaretz, menyebutkan peristiwa traumatis penghancuran kuil menyebabkan upaya mengikis buta huruf di setiap warga Yahudi meluas.
Proses tersebut menyiapkan orang-orang Yahudi memiliki peran dalam kebangkitan ekonomi kerajaan Muslim, karena memiliki keterampilan sesuai kebutuhan.
Orang-orang Yahudi kemudian pindah ke tempat-tempat seperti Yaman, Suriah, Mesir hingga Eropa Barat.
Mereka meyakini keterampilan yang dimiliki sangat dibutuhkan di wilayah tersebut.
Kemudian pada abad 1100-1200 M, pemberi pinjaman uang menjadi pekerjaan khas Yahudi di Inggris, Prancis, dan Jerman.
Di negara seperti Spanyol, Portugal, Italia, dan Eropa Barat lain profesi tersebut bahkan menjadi mata pencaharian utama.
Identitas yang kuat memungkinkan orang Yahudi mempertahankan ikatan primordial terlepas dari mana mereka berasal.
Selain itu, ikatan tersebut berguna menegakkan perjanjian kontrak dari jauh, sesuatu yang sangat membantu dalam perdagangan.
Fenomena itu bisa menjadi alasan kesuksesan orang Yahudi yang memilih profesi berkaitan dengan kredit dan pasar uang.
Di sisi lain, orang Yahudi Eropa yang berprofesi sebagai peminjaman uang karena mereka dilarang menjadi anggota serikat pengrajin.
Gereja-gereja di Eropa dan Islam juga melarang praktik riba.
Dalam buku karya Botticini dan Eckstein menjelaskan orang Yahudi di Eropa Barat menjadikan peminjaman uang sebagai pekerjaan karena mereka memiliki keterampilan dan kondisi yang tepat.
Keterampilan itu berupa kemampuan membaca dan menulis, dan kecakapan matematika.
Orang-orang Yahudi juga memiliki sarana kelembagaan untuk menegakkan kontrak terkait perputaran uang dan modal serta jaringan yang memungkinkan mereka berkomunikasi satu sama lain di antar sesama diaspora Yahudi.
(redaksi)