Terkait tidak adanya spesialisasi ormas dalam bidang pertambangan, Bahlil menilai, hal itu juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang selama ini mengelola IUP.
Karena itu, Bahlil menyebut, perusahaan-perusahaan pemegang IUP biasanya menggandeng kontraktor.
Akan tetapi, kebijakan ini dikritik Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas.
Ia mengatakan pemberian izin usaha tambang untuk ormas berpotensi menambah kerusakan lingkungan.
“Apalagi diberikan kepada institusi atau lembaga yang tidak memiliki kapasitas, interest untuk pengelolaan lingkungan dalam praktek bisnis mereka," tegas Arie Rompas.
Di sisi lain, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan permohonan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang diajukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tambang batu bara Kalimantan Timur, sudah diterima.
Apabila memenuhi persyaratan, maka BKPM akan menerbitkan IUPK dalam kurun waktu 15 hari sejak permohonan diterima dan syarat terpenuhi.
Menurut Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot Tanjung, untuk permohonan izin tambang batu bara dari PBNU yang hendak mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) di Kalimantan Timur tersebut, saat ini dalam proses evaluasi untuk dilihat kelengkapan administrasi dan pemenuhan kewajiban.
Ia mengatakan, pihaknya belum menerima permohonan izin tambang dari organisasi keagamaan lainnya untuk mengelola tambang di Indonesia. (*)