Yang paling menonjol adalah Arab Spring khususnya pembentukan ISIS yang pernah diakui oleh Hillary Clinton saat menjabat Menlu di ere Obama.
Operasi AS mendanai kelompok-kelompok ultra-fundamentalis bukan barang baru. AS ini seperti negara yang selalu menciptakan musuh-musuh untuk menjaga eksistensi “super power-nya” di mata dunia.
Dulu, awal sekali, AS mencoba mengobok-obok Mesir untuk dijadikan “pilot project” sebuah negara Islam. Namun usaha mereka gagal, lantaran militer Mesir melakukan kudeta. Kemudian, tentu kita masih ingat bagaimana Irak diporak-porandakan, dan setelah Saddam Husein jatuh, AS membiayai pelaksanaan Pemilu di Irak, sayangnya, sekali lagi, jagoan capres yang dipersiapkan AS, kalah telak.
Kekalahan itu pada akhirnya membuat AS mendesain proksi baru, yakni dengan membentuk ISIS agar terjadi perang sekte/aliran di Irak.Targetnya apalagi kalau bukan untuk menguasai minyak di Irak. Sepertinya AS belum rela melepas.
Setelah menciptakan ISIS, setelah tak berfungsi, ISIS kini dicap sebagai organisasi teroris dunia. Yang tak kalah penting bagaimana Taliban yang dulu dipergunakan AS untuk menghadapi gempuran Soviet. Setelah Soviet runtuh, Taliban kini kembali distempel sebagai organisasi teroris dunia.
Kemudian di Suriah, bagaimana Presiden Suriah Bashar al-Assad yang negaranya diporak-poranda oleh kelompok ultra fundamentalis yang diduga didanai AS dengan menghembuskan isu bahwa Bashar adalah Syiah.
Belakangan justru Bashar kembali terpilih sebagai Presiden Suriah. Ini menjadi bukti bahwa apa yang dituduhkan kepada Bashar tidak terbukti.
Dalam upaya kudeta Bashar, mereka gagal, tapi memorak-porandakan Suriah mereka berhasil. Kini Bashar harus terus berjibaku memperbaiki kembali negaranya.
Dan yang tak pernah hilang adalah sikap AS yang mendukung Israel atas pendudukan di Palestina. Anehnya di Indonesia organisasi seperti HTI, FPI bahkan PKS misalnya tidak pernah mengkritik sikap AS tersebut, padahal organisasi-organisasi tersebut mengklaimkan dirinya sebagai Islam.
Apa yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah tersebut memiliki kemiripan pola dengan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir, khususnya pasca-reformasi 1998. Demokrasi menjadi alasan untuk kebablasan menyampaikan aspirasi/pendapat.
Sudah sangat jelas sekali dari sisi ideologi organisasi seperti HTI dan FPI bertentangan dengan undang-undang (UU), dimana dua organisasi tersebut ingin tidak menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi.
Dari uraian di atas, memang AS selalu menggunakan isu “Islam” sebagai proksi.
Sekadar mengingatkan
Setelah jatuhnya Tembok Berlin yang menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur, menjadi penanda berakhirnya perang dingin antara Uni Soviet dan AS. Alih-alih berdamai, justru Barat menganggap Islam sebagai musuh. Semenjak itu, banyak negara-negara Muslim menjadi target AS dan sekutunya.
Orang-orang Muslim selalu dipropagandakan oleh banyak media Barat sebagai kelompok yang berideologi radikal dan menjadi ancaman dunia. Padahal AS dan sekutunya yang mendesain kelompok-kelompok ultra-fundamentalis untuk mencitrakan Islam adalah radikal.
Islamfobia kala itu berhasil menjadi “isu besar” dan kian menguat ketika marak bermunculan partai-partai politik berhaluan kanan di Eropa.
Pada kesempatan ini, saya ingin kembali mengutip pernyataan seorang kolomnis senior, Melanie Phillips, yang dulu kerap mengkritik tentang Islam radikal. Dalam sebuah artikelnya yang dimuat The Times, ia secara gamblang memperingatkan Barat untuk tidak menutup mata atas China.
Sejak Uni Soviet runtuh, memang Barat membutuhkan musuh-musuh pengganti. Jika mengacu pada pandangan Phillips tadi, maka sebenarnya China menjadi penantang kedua setelah Islam. China harus dianggap menjadi ancaman jangka panjang paling kuat bagi Barat.