Anggaran Terbatas, Dispar Kaltim Prioritaskan Desa Wisata

POJOKNEGERI.COM — Dinas Pariwisata (Dispar) Kalimantan Timur (Kaltim) harus melakukan penyesuaian besar-besaran setelah alokasi anggaran 2026 dipangkas hampir separuh dari usulan awal.
Dari Rp38 miliar yang diajukan dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), hanya sekitar Rp20 miliar yang disetujui pemerintah provinsi.
Kepala Dispar Kaltim, Ririn Sari Dewi, memastikan pihaknya bergerak cepat melakukan penyusunan ulang program.
Menurutnya, Dispar harus realistis dalam menentukan langkah agar tetap dapat menjalankan mandat, terutama program prioritas gubernur dan wakil gubernur.
“Kami mengurangi seluruh kegiatan yang tidak mendesak dan memusatkan energi pada program prioritas gubernur dan wakil gubernur, khususnya pengembangan desa wisata yang merupakan bagian dari program Jospol,” kata Ririn, Kamis (11/12/2025).
Sinergi Lintas Instansi
Di tengah pengetatan anggaran, sektor pariwisata tidak ditinggalkan begitu saja. Justru, Dispar melihat desa wisata sebagai sektor yang tetap dapat tumbuh jika ada konsolidasi lintas pemangku kepentingan. Ririn menegaskan, membangun desa wisata bukan tugas satu instansi.
“Strategi pengembangan desa wisata tidak bisa dilakukan Dispar seorang diri. Perlu dukungan OPD lain untuk memaksimalkan potensi desa, termasuk dalam hal perlindungan kekayaan intelektual,” tegasnya.
Salah satu bentuk sinergi yang sudah dijalankan adalah kolaborasi dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (DPPK-UKM) Kaltim).
Dispar mendorong agar desa wisata yang memiliki produk unggulan dapat difasilitasi untuk memperoleh sertifikasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Perlindungan HKI dianggap penting untuk memastikan tradisi, inovasi, dan karya masyarakat lokal tidak diklaim pihak luar.
Selain bekerja sama dengan OPD lain, Dispar Kaltim juga berharap perusahaan swasta dapat terlibat dalam pembangunan desa wisata melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR). Salah satu kebutuhan yang dinilai mendesak adalah penyediaan infrastruktur digital.
“Digitalisasi penting untuk meningkatkan promosi. CSR bisa diarahkan, misalnya untuk penyediaan akses internet di desa wisata,” ujar Ririn.
Menurutnya, potensi wisata desa akan sulit berkembang bila informasi dasar mengenai destinasi tersebut tidak bisa diakses oleh wisatawan. Apalagi, promosi digital kini menjadi salah satu instrumen yang paling menentukan dalam kompetisi sektor pariwisata.
Saat ini, terdapat 105 desa wisata di Kalimantan Timur yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Namun, sebagian besar belum dikenal luas masyarakat. Ririn mencontohkan salah satu destinasi yang sebenarnya memiliki potensi besar namun masih minim publikasi, yaitu Desa Wisata Pantai Marang di Kaliorang, Kutai Timur.
“Pantainya indah, tetapi informasinya belum banyak tersebar. Karena itu, kami mengajak Dispar kabupaten/kota untuk aktif mempromosikan bersama,” katanya.
Beberapa desa wisata di Kaltim bahkan telah menunjukkan capaian signifikan, seperti Tapak Raja di Sepaku (PPU) dan Desa Pela di Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Keduanya telah mendapat pengakuan nasional dan menjadi contoh pengelolaan desa wisata yang melibatkan masyarakat secara langsung.
Penguatan Ekonomi Kreatif
Salah satu pilar lain yang diperkuat adalah kerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kaltim. Kolaborasi ini bertujuan mendorong desa wisata memiliki rantai ekonomi kreatif yang kokoh melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Di tengah tekanan fiskal, sinergi menjadi kunci optimalisasi program,” tegas Ririn.
Dispar juga melanjutkan kolaborasi dengan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kaltim. Kerja sama ini meliputi pembinaan UMKM desa wisata, penyediaan sarana prasarana, hingga rencana pengembangan Kampung Tenun sebagai destinasi berbasis budaya yang lebih modern dan berdaya saing.
Selain fokus pada pemberdayaan dan promosi, Dispar Kaltim juga berusaha membangun fasilitas dasar yang mempengaruhi kenyamanan wisatawan. Fasilitas sederhana seperti toilet, kamar mandi, area ibadah, hingga titik istirahat dianggap sebagai komponen penting dalam pengalaman wisata.
“Kalau fasilitasnya baik, wisatawan pasti lebih nyaman. Harapannya, kunjungan meningkat dan dapat membantu pendapatan daerah meski kita sedang dalam kondisi efisiensi,” pungkas Ririn.
Tekanan fiskal yang dialami Kaltim pada 2026 bukan hanya soal penurunan APBD, tetapi juga ujian bagi kemampuan pemerintah daerah dalam beradaptasi dan berinovasi. Dispar Kaltim memilih untuk tidak menyerah pada keterbatasan, melainkan mengubah pendekatan dengan mengandalkan kolaborasi lintas sektor serta mendorong pemberdayaan masyarakat.
Dengan kerja sama bersama OPD, swasta, perbankan, hingga komunitas lokal, Dispar berharap sektor wisata — khususnya desa wisata — tetap menjadi ruang tumbuh ekonomi kreatif dan identitas budaya di tengah masa efisiensi anggaran.
(tim redaksi)
