
POJOKNEGERI.COM — Wali Kota Samarinda Andi Harun menghadiri Rembug Pentahelix menghadapi ancaman hidrometeorologi basah seperti banjir, longsor, dan genangan air di Kota Samarinda.
Deklarasi Rembug Pentahelix dalam Menghadapi Ancaman Hidrometeorologi Basah ini berlangsung di Cafe Bagios, Samarinda, Kamis (18/12/2025).
Deklarasi tersebut melibatkan lima unsur utama Pentahelix, yakni pemerintah daerah, akademisi, dunia usaha, masyarakat atau komunitas, serta media massa. Kesepakatan bersama ini menjadi upaya kolektif untuk memperkuat mitigasi, pencegahan, dan kesiapsiagaan bencana melalui sinergi lintas sektor, dengan mengusung semangat “Samarinda Tangguh, Gotong Royong yang Profesional Mengurangi Risiko Bencana.”
Andi Harun menegaskan bahwa upaya pengendalian banjir dan bencana hidrometeorologi tidak bisa lagi hanya secara parsial dan reaktif. Menurutnya, akar persoalan justru terletak pada rusaknya keseimbangan alam, khususnya di kawasan hulu.
“Tema hari ini adalah bagaimana kita benar-benar mewujudkan kolaborasi. Kuncinya menjaga keseimbangan alam. Kalau keseimbangan itu kita jaga, itu sudah menjadi bentuk mitigasi paling konkret untuk menghadapi segala kemungkinan bencana hidrometeorologi,” ujar Andi Harun.
Ia menilai, pembelajaran dari berbagai bencana besar di Indonesia, termasuk di Aceh dan wilayah Sumatera, harus direspons dengan langkah nyata, bukan sekadar wacana. Cara paling mendasar adalah memastikan lingkungan tidak mengalami degradasi yang semakin parah.
“Yang pertama, lingkungan yang masih baik harus kita pertahankan. Yang kedua, lahan yang sudah terdegradasi harus segera kita restorasi. Salah satunya melalui gerakan menanam pohon secara serius dan berkelanjutan,” tegasnya.
Andi Harun tekankan Pendekatan Teknis
Andi Harun mengingatkan bahwa pendekatan teknis di wilayah hilir—seperti pengerukan sungai, pengangkatan sedimentasi, atau revitalisasi drainase—tidak akan efektif jika tidak dibarengi pembenahan di sektor hulu.
“Kita boleh bicara pengerukan sungai, boleh bicara drainase. Tapi kalau sektor hulunya terus rusak, itu tidak akan membawa pengaruh signifikan dalam mengendalikan bencana,” katanya.
Ia mengungkapkan, saat ini Kota Samarinda memiliki sekitar 32 hingga 33 titik genangan, dengan kondisi paling berat terjadi di wilayah Samarinda Utara. Namun secara umum, hampir seluruh kecamatan terdampak karena limpasan air dari kawasan hulu, baik di dalam maupun di luar wilayah kota.
“Genangan itu banyak disebabkan oleh run off, kiriman air limpasan. Ada aktivitas pengupasan lahan karena perkebunan, tambang, bahkan kebijakan pemerintah sendiri. Kita harus jujur mengakui bahwa lahan bermasalah kita banyak,” ujarnya.
Menurutnya, kejujuran berbasis data menjadi syarat utama agar penanganan bencana tepat sasaran. Tanpa itu, anggaran sebesar apa pun yang digelontorkan hanya akan “menguap” karena tidak menyentuh akar persoalan.
Soroti Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan
Dalam kesempatan tersebut, Andi Harun juga menyoroti persoalan kebijakan perizinan dan lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Ia menegaskan bahwa negara tidak melarang aktivitas pertambangan atau perkebunan, namun harus berjalan dengan prinsip tata kelola yang benar.
“Menambang itu tidak dilarang. Tapi menambang di lereng curam, di tepi sungai, itu pasti merusak. Jangan beri izin pengupasan lahan di sekitar DAS. Lahan bekas tambang yang berbentuk void harus segera direklamasi dan direvegetasi, bukan sekadar administratif,” tegasnya.
Ia mengkritik praktik reklamasi yang hanya bersifat seremonial tanpa pengawasan dan evaluasi berkelanjutan. Akibatnya, lahan tetap terbuka dan terus menjadi sumber masalah lingkungan.
“Peraturan kita itu banyak, bahkan melimpah. Mulai dari regulasi reklamasi, pascatambang, hingga good mining practice. Masalahnya bukan pada aturan, tapi pada pelaksanaan dan pengawasannya,” katanya.
Andi Harun menyebut persoalan lingkungan sebagai tanggung jawab bersama, bukan semata-mata kesalahan satu pihak. Namun, ia menekankan bahwa kunci utama terletak pada integritas dan kejujuran aparatur serta pengawas di lapangan.
Lebih jauh, Wali Kota mengingatkan bahwa selama ini pola penanganan bencana masih cenderung reaktif. Pemerintah baru bergerak setelah bencana terjadi dan sorotan publik menguat, lalu kembali mengendur ketika perhatian mereda.
“Kalau kita mau jujur, ini kesalahan bersama. Kita masih reaktif, belum adaptif. Padahal, yang dibutuhkan adalah kerja konkret, berkelanjutan, dan turun langsung ke lapangan,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh unsur Pentahelix untuk tidak terjebak dalam seremoni dan diskusi semata, melainkan bergerak nyata memperkuat faktor lingkungan sebagai fondasi pembangunan kota.
“Mari kita kurangi acara-acara seremonial. Sekarang saatnya turun ke lapangan. Itu satu-satunya cara agar secara bertahap kita bisa membangun Samarinda, bahkan Kalimantan Timur, sebagai wilayah yang berketahanan iklim,” pungkasnya.
Deklarasi Rembug Pentahelix ini menjadi titik awal konsolidasi lintas sektor dalam menghadapi ancaman hidrometeorologi basah, sekaligus memperkuat komitmen kolektif untuk menjaga lingkungan hidup sebagai pondasi keselamatan dan keberlanjutan kota.
(tim redaksi)
