Nasional

Sosok Abdul Wahid, Gubernur Riau yang Jadi Tersangka Pemerasan

POJOKNEGERI.COM – Gubernur Riau Abdul Wahid resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penetapan tersangka ini setelah Abdul Wahid terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT ) KPK pada Senin malam, 3 November 2025, di sebuah kafe di wilayah Riau, setelah Abdul Wahid sempat di kejar oleh tim penindakan KPK.

Abdul Wahid diduga memeras para bawahannya di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

Lantas siapakah sebenarnya Abdul Wahid?

Profil Abdul Wahid

Abdul Wahid lahir di Desa Belaras, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau pada 21 November 1980. 

Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. 

Sang ayah meninggal saat Wahid masih berusia 10 tahun. 

Setelah itu ia dan keluarganya pindah ke Desa Sei Simbar, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir. 

Di sana, ia menempuh pendidikan dasar hingga madrasah tsanawiyah (MTs). 

Setelah itu, Wahid melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah (MA) Tembilahan. 

Kemudian ia pindah ke Pondok Pesantren Ashhabul Yamin, Sumatera Barat. 

Wahid menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Tarbiyah IAIN SUSKA Riau (kini UIN SUSKA Riau), dengan mengambil prodi Pendidikan Agama Islam. 

Saat kuliah itulah Wahid sempat bekerja sebagai cleaning service untuk membiayai pendidikannya.

Bahkan, ia pernah menjadi kuli bangunan.

Ketekunan dan kerja keras itu kemudian membentuk sosok Wahid yang dikenal rendah hati dan dekat dengan rakyat kecil. 

Karier politik

Semasa kuliah, Wahid mulai aktif dalam organisasi dan dunia politik. 

Karier politik Abdul Wahid dimulai dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002. 

Ia sempat menjabat sebagai Wakil Sekretaris HMI Cabang Riau, lalu menjadi Wakil Sekretaris DPW PKB Riau periode 2002–2009. 

Namanya mulai dikenal publik ketika berhasil melenggang ke DPRD Riau pada Pemilu 2009 dan menjabat Ketua Fraksi Gabungan. 

Pada Pemilu 2014, ia kembali terpilih sebagai anggota DPRD dan menjabat Ketua Fraksi PKB. 

Kariernya terus menanjak hingga dipercaya sebagai Ketua DPW PKB Riau sejak 2011 hingga sekarang. 

Dalam Pemilu 2019, Abdul Wahid naik tingkat ke DPR RI dan menjabat hingga 2024. 

Pada 2024, Wahid memutuskan maju sebagai calon Gubernur Riau berpasangan dengan SF Hariyanto, mantan Penjabat Gubernur sekaligus Sekretaris Provinsi Riau. 

Pasangan ini berhasil meraih 1.224.193 suara dan dilantik pada Februari 2025.

Ditetapkan Tersangka Kasus Pemerasan

Sebelumnya KPK resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.

Abdul Wahid diduga memeras para bawahannya di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

Penetapan ini KPK umumkan dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu (5/11/2025).

“KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.

Dua tersangka lainnya ialah Kadis PUPR Riau M Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.

Tanak mengatakan kasus ini berawal pertemuan antara Sekdis PUPR Riau Ferry Yunanda dengan enam kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP pada Mei 2025.

Saat itu, menurut KPK, Ferry dan para kepala UPT membahas pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5 persen. Fee itu terkait penambahan anggaran pada UPT Jalan dan Jembatan wilayah I-VI Dinas PUPR Riau dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.

Setelah itu, Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kadis PUPR Riau Arief. Namun, kata Tanak, Arief yang merepresentasikan Abdul Wahid meminta fee 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

Singkat cerita, para pejabat di PUPR Riau itu menjalankan permintaan itu. KPK menduga sudah ada Rp 4 miliar yang diserahkan dari total permintaan Rp 7 miliar. KPK menyebut ada ancaman pencopotan bagi pejabat yang tak mematuhi permintaan itu.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK Lakukan OTT

Sebelumnya KPK melakukan OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada Senin malam, 3 November 2025, di sebuah kafe di wilayah Riau, setelah Abdul Wahid sempat di kejar oleh tim penindakan KPK.

Penagkapan Abdul Wahid bersama sembilan orang lainnya yang terdiri dari pejabat Dinas PUPR Provinsi Riau dan pihak swasta.

Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, OTT ini merupakan bagian dari rangkaian penyelidikan atas dugaan korupsi yang melibatkan penganggaran proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Riau.

“Kepala daerah atau Gubernur diamankan bersama Kepala Dinas PUPR, Sekretaris Dinas, lima Kepala UPT, dan dua pihak swasta yang merupakan tenaga ahli atau orang kepercayaan Gubernur,” ujar Budi saat memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa malam, 4 November 2025.

Uang Tunai Lebih dari Rp1 Miliar Disita

Dalam OTT tersebut, KPK berhasil mengamankan uang tunai dalam berbagai mata uang, yakni rupiah, dolar Amerika Serikat, dan poundsterling. Jika dikonversi ke dalam rupiah, totalnya melebihi Rp1 miliar. Uang tersebut diduga merupakan bagian dari sejumlah penyerahan sebelumnya kepada kepala daerah. “Kegiatan tangkap tangan ini merupakan bagian dari beberapa penyerahan sebelumnya,” jelas Budi.

Barang bukti tersebut telah dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk diperiksa lebih lanjut. Penangkapan ini dilakukan setelah KPK menerima laporan adanya praktik pemerasan oleh pejabat pemerintah provinsi dalam penganggaran proyek infrastruktur. “Modus dugaan tindak pidana pemerasan ini terkait dengan anggaran di Dinas PUPR. Diduga sudah ada beberapa kali penyerahan sebelumnya,” tambah Budi.

KPK menduga bahwa pengelolaan anggaran di Dinas PUPR telah disusupi praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Menurut Budi, sektor anggaran memang kerap menjadi sumber korupsi di daerah. “Anggaran seharusnya digunakan secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan. Jangan sampai karena modus korupsi, kualitas pembangunan justru tidak optimal dan masyarakat yang dirugikan,” tegasnya.

Praktik pemerasan dan suap dalam penganggaran proyek infrastruktur ini tidak hanya merusak integritas pemerintahan daerah, tetapi juga berpotensi menghambat pembangunan yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah provinsi.

(*)

Back to top button