Nah, operasi oligarki ini disinyalir atau diduga mulai agak terbaca ketika PPP sempat menyebut Sandiaga Uno sebagai cawapres Ganjar dan PAN sekarang terlihat jelas mengusung nama Erick Thohir.
Gambaran politik itulah yang mungkin menjadi jawaban, kenapa Sandiaga lompat pagar ke PPP sementara Erick Thohir coba menggunakan jaringan anak-anak muda NU, yang pada akhirnya dinobatkan sebagai anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dan sebagai ketua panitia Harlah seabad NU di Sidoarjo, Jawa Timur.
Kira-kira Erick Thohir “di NU-kan.”
Artinya diduga dua tokoh (Sandiaga dan Erick) ingin mencoba mengambil klaim “Islam” dalam kontestasi Pilpres yang selalu beraliran Nasionalis – Religius.
Apalagi hal ini ditegaskan oleh Megawati ketika menyematkan peci kepada Ganjar.
Mega mengatakan bahwa peci/songko tersebut adalah simbolis Nasionalis-Religius sebagaimana pemikiran sang ayah, Sukarno.
Dengan demikian, bisa jadi para oligarki membidik “kepentingan” pada capres Ganjar Pranowo.
Skenario ini sebenarnya hampir saja buyar, ketika nama Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar sempat mencuat dalam hitungan 2-3 pekan.
Namun jika dibaca bisa jadi, ada pihak yang mencoba melempar nama Nasaruddin Umar hanya untuk sekadar “mengecek pasar.” Nyatanya, PPP sempat menyebut nama lelaki asal Bugis, Sulawesi Selatan tersebut.
Paling tidak menjawab aliran politik mewakili Barat dan Timur Indonesia. Sayangnya, nama Nasaruddin tidak menggelinding seperti bola salju.
Mungkin banyak pihak beranggapan, bahwa isu politik identitas atas nama agama, tidak segarang pada Pilpres 2019 lalu, relatif kondusif, kira-kira demikian.
Toh, Partai Ummat yang coba menyuarakan kembali isu politik identitas yang dilontarkan Amien Rais juga kurang laku, hanya menjadi bumbu isu politik. Jika isu politik identitas atas nama agama tidak mencuat, maka tokoh seperti Nasaruddin Umar tidak mendapatkan momentum untuk dilirik.
Lantas bagaimana dengan Anies? Anies sendiri hari ini mau tidak mau harus mengubah strateginya yang tadinya lebih soft, kini mulai agak keras, yakni dengan menyerang pemerintah alias memposisikan sebagai oposisi atau sekadar mempertegas julukan “antitesa” Jokowi.
Makanya ia lebih menggunakan black propaganda untuk mendongkrak elektabilitasnya, atau sekadar untuk bertahan agar namanya tetap disebut. Karena konsep dasar propaganda adalah bagaimana informasi baik benar maupun salah harus disampaikan secara berulang-ulang agar dipersepsikan menjadi benar. Ketika berbicara persepsi, maka itu ada pada wilayah pikiran. Ibarat kata “sihir pikiran-lah.”
Selain black propaganda, Anies juga terlihat menerapkan strategi “playing victim” dengan membangun isu, bahwa seakan-akan ia tengah berusaha dijegal oleh kekuasaan. Kendati demikian, bila dilihat dari kepentingan oligarki, figur Anies masih menguntungkan, sebab kabarnya ia mudah diatur sehingga kepentingkan para oligarki terakomodir. Contoh konkretnya adalah reklamasi Jakarta, yang sebelumnya ditolak keras Anies pada akhirnya diizinkan kelanjutannya.
Nah, saya curiga justru Prabowo yang sebenarnya tengah diserang habis-habisan. Sebab Prabowo yang mantan tentara ini kadang-kadang muncul jiwa patriotisme dan nasionalismenya. Inilah yang diduga menjadi kekhawatirkan para oligarki.