POJOKNEGERI.COM -Soliditas institusi terancam di pusara pemilihan Panglima TNI baru, antara KSAD Jenderal Andika Perkasa dan KSAL Laskasaman Yudo Margono.
Pengangkatan Panglima TNI tak lepas dari dimensi politik.
Saat ini pergantian Panglima TNI terasa seperti Pemilihan Presiden (Pilpres), hal itu digambarkan Direktur Indo Strategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam.
Ia mengatakan situasi seperti ini jelas tidak menguntungkan bagi TNI karena bisa mengancam soliditas internal.
Selain itu, bisa juga memicu terjadinya disintegrasi bangsa dan hal tersebut berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
"Jabatan Panglima TNI memang tidak lepas dari variabel politik. Meski kita sadar TNI adalah institusi yang dilarang untuk berpolitik praktis," ujar Arif, kepada wartawan, Selasa (19/10/2021), dilansir dari Tribunnews.com.
Masalahnya, kata dia, yang berhak mengangkat Panglima TNI adalah pejabat yang lahir dari proses politik yakni Presiden.
Karena itu, pemilihan Panglima TNI muncul dukung mendukung termasuk dari DPR.
Meski demikian, Arif menilai proses tersebut masih dalam situasi terkendali.
"Yang perlu dijaga adalah menjaga soliditas internal TNI agar tetap solid. Tapi setelah terpilih TNI harus satu komando, siapapun Panglima TNI-nya," paparnya.
Dengan demikian, Arif menyebut hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi Panglima TNI baru.
Disini juga akan membuktikan rekam jejak karakter kepemimpinan masa lalu Panglima, apakah selalu solid di internalnya atau sebaliknya.
Arif mengakui, pada sisi lain, pemilihan Panglima TNI kali ini juga menunjukkan bahwa aturan belum sepenuhnya diikuti oleh para pejabat.
Misalnya KSAD yang baru tahun ini melaporkan LHKPN-nya.
Dimana seharusnya sudah harus melaporkan sejak pertama kali menjabat sebagai KSAD.
Dan juga adanya pelanggaran UU TNI sebagaimana disampaikan oleh ICW, ketika Kasau dan KSAD menjabat sebagai Komisaris Utama pada BUMN.
Jelas hal tersebut dilarang oleh UU TNI.
"Soal rangkap jabatan di BUMN dan soal LHKPN saya kira ini harus ditegakkan dan menjadi PR panglima TNI kedepan. Selain itu juga agar menunjukkan profesionalisme TNI," katanya.
Selain itu, situasi pemilihan Panglima TNI kali ini juga mengarah pada konflik internal matra, dimana terjadi dukung mendukung yang tidak sehat.
Ini sebagai bentuk politisasi jabatan Panglima TNI yang dijadikan batu pijakan untuk Pilpres 2024 nanti.
"Memang jabatan Panglima TNI strategis karena pasca purna rata-rata memiliki daya tawar politik sehingga dilirik oleh publik dan kekuatan politik," ucapnya.
"Sekali lagi, jabatan Panglima TNI memang tak lepas dari dimensi politik sehingga jika kemudian terjadi dukung mendukung, dari kalangan sipil, terutama Parpol tak bisa dihindarkan," tambahnya.
Arif menegaskan dukung mendukung semacam itu tak boleh mengganggu soliditas TNI dan mesti didorong agar makin profesional.
Terkait Panglima TNI bisa menjadi pijakan di 2024 memang realitasnya demikian, karena jabatan panglima TNI pasca pensiun biasanya memiliki daya tawar politik dan kerap dilirik publik sebagai calon pemimpin potensial.
Arif memaparkan, kursi Panglima TNI adalah kursi penting dalam politik Indonesia.
Kursi tersebut bisa membuka karier seseorang di dunia politik nasional.
"Jabatan panglima TNI jelas seksi karena bisa menjadi gerbang untuk kekuasaan," paparnya.
Apalagi kursi Panglima TNI adalah jabatan tertinggi di TNI.
Ia akan menjadi sorotan publik dan masuk dalam lingkaran elite kekuasaan.
Hal tersebut, kata Arif, terbukti dengan sejumlah mantan Panglima TNI yang hidup di kekuasaan seperti Wiranto hingga Moeldoko.
Arif pun mengaku, kans untuk para mantan panglima menduduki jabatan seksi di pemerintahan tinggi, bahkan bisa menjadi kandidat capres/cawapres hingga membuat "kereta sendiri" dengan membentuk partai politik.
Diketahui, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan pensiun pada November 2021.
Dua nama yang santer menjadi kandidat penggantinya adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono.
Surpres Calon Panglima
Pemerintah belum mengirimkan surat presiden (Surpres) ke DPR terkait pergantian Panglima TNI.
Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara Faldo Maldini mengatakan Surpres akan dikirimkan setelah DPR memasuki masa sidang lagi.
"Sejauh ini secara jadwal, semuanya masih aman, menunggu jadwal DPR sidang lagi. Kita masih ada waktu sampai masuk pensiun Panglima di akhir November nanti," kata Faldo.
Saat ini DPR sedang memasuki masa reses Persidangan 1 Tahun 2021 pada 8 sampai 31 Oktober 2021.
Masih ada waktu mencari perwira terbaik yang dapat menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan memasuki masa pensiun.
"Kita tunggu saja. Semuanya masih berproses. Kita sedang fokus ke agenda nasional bangkit dari pandemi, maka kriteria untuk menjawab tantangan itu jadi penting, ini yang sebelumnya tidak menjadi kriteria utama," katanya.
Pada November 2021 Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa purna tugas.
Berdasarkan Pasal 53 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yakni 58 tahun adalah batas usia untuk pensiun bagi perwira TNI.
Sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) UU TNI, Presiden akan mengajukan satu nama calon Panglima TNI untuk menjalani fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Merujuk Pasal 13 ayat (4) UU TNI menyebutkan jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Terdapat tiga nama yang memenuhi syarat sebagai kandidat Panglima TNI berikutnya menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Mereka di antaranya Jenderal TNI Andika Perkasa yang kini menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), dan Marsekal Fadjar Prasetyo sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). (redaksi)