POJOKNEGERI.COM - Ini hanya skema strategis NU dalam pertarungan politik menjelang pilpres, itulah pandangan saya mengenai hiruk-pikuk antara Ketua Umum PBNU Gus Yahya Staquf dan Gus Muhaimin, Ketua Umum PKB, yang menurut orang banyak dianggap sebagai perseteruan.
Ironisnya banyak pihak yang mengatakan bahwa NU tengah menggembosi PKB, menurut saya, justru ketika pernyataan tersebut dilontarkan, artinya pihak tersebut belum paham soal NU.
Saya hanya beranggapan, di tengah “politik bunyi-bunyian tersebut,” merupakan hal wajar, jika banyak pihak yang ikut mendompleng isu tersebut, tak terkecuali saya yang menuliskan pendapat subjektif ini.
Kontroversi mengenai sikap politik NU ini tidak hanya sekali terjadi.
Tentu kita ingat bagaimana pilpres sebelum-sebelumnya, mantan Ketua Umum PBNU, Buya Said Aqil Siroj dianggap mendukung Prabowo Subianto, meski belakangan banyak capres bahkan cagub sowan ke PBNU, guna mengambil klaim secara simbolik, meski bahasanya sowan, tetap menyiratkan meminta dukungan.
Saat Gus Yahya menyatakan bahwa NU tidak boleh digiring ke dalam politik praktis, pendapat itu benar sekali, sangat benar.
Karena NU secara organisasi tidak boleh ditarik ke ranah politik, sebab NU mengedepankan politik kebangsaan.
Artinya diberikan ruang kebebasan bagi warga NU secara personal menentukan sikap politiknya masing-masing. Dan Gus Yahya sebagai Ketum PBNU harus mengakomodir ragam pilihan politik tersebut.
Dengan kebebasan sikap politik tersebut, Gus Yahya sangat mungkin menginginkan agar konsolidasi kader-kader NU melebar, memperluas lapangan permainan.
Setelah meluas, bagaimana NU secara organisasi mengonsolidasikan penyatuan kekuatan tersebut?
Jika dikaitkan ingin menghadirkan kembali Gus Dur, yang mampu mengonsolidasi kekuatan-kekuatan di luar NU dan mengambil peran strategis NU sebagai organisasi.
“PKB sekarepmu,” pernyataan Gus Yahya ini justru memberikan kebebasan PKB untuk peran jelang pemilu.
Makanya dilanjutkan, Gus Yahya mempersilahkan untuk Gus Muhaimin secara personal maupun PKB sebagai partai memenangkan pertarungan, baik dalam penambahan suara dan pencapresan.
Lantas bagaimana dengan Gus Muhaimin dan PKB?
Apa yang dilakukan Gus Muhaimin dalam konteks Ketum Partai, juga sangat benar, karena harus menumbuhkan optimis mengenai pencapresan, toh semua Ketum Partai lainnya juga demikian, berlomba-lomba menjadi capres.
Optimisme yang disuarakan Gus Muhaimin berdampak pula pada kerja-kerja mesin partai, PKB harus mendongkrak perolehan suara. Salah satu perwujudan demokrasi modern ya partai politik, lantaran menjadi instrumen penting pendidikan politik warga.
“NU dan PKB baik-baik saja,” begitu tegas Gus Yahya lagi.
Jadi dimana perseteruannya, yang begini-begini NU hanya menganggapnya sebagai dinamika. Toh saya yakin, antara Gus Yahya dan Gus Muhaimin adakalanya duduk satu meja saling menikmati secangkir kopi sambil tertawa.
Endingnya, ya NU tetap selalu punya peran strategis.
Ibarat barang antik yang diburu para kolektor.
Jika isu ini terus bergulir, saya justru senang…!
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)