Kalau sama-sama ke hutan, meski yang satu menerapkan konsep ekowisata dan satunya lagi tidak, artinya kegiatan yang bisa dilakukan akan sama saja. Tidak demikian, kok. Di lokasi wisata berkonsep ekowisata, Anda juga bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan.
Diyah bercerita, ketika pergi ke Tangkahan, ia menemukan hutan yang masih sangat alami. Tidak dibuat apa-apa di dalamnya. Ada jalan setapak tanah yang kecil, tanpa dilapisi bebatuan. Di tengah hutan ia bertemu babi dan monyet. Di ujung hutan terdapat sebuah sungai.
“Kami kembali lagi ke perkampungan dengan duduk di ban, bukan speedboat. Jadi, tidak ada kegiatan yang merusak alam.” katanya.
Bagi pengunjung, tersedia rumah-rumah ramah lingkungan yang dilengkapi toilet. Pengunjung bisa memilih akan menginap di bangunan yang sudah disediakan warga, atau homestay di rumah warga.
“Menginap di hutan juga bisa. Ada area yang bisa digunakan untuk membangun tenda, tanpa membuka lahan. Di area sungai sering kali ada area bebatuan yang bisa dijadikan lokasi kemping. Atau, ada sejumlah area lapang di bawah pepohonan,” kata Diyah.
Beberapa tahun lalu, Alex sempat menikmati kawasan ekowisata Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Lokasinya benar-benar jauh dari perkotaan. Di sana ia bisa menikmati sungai dan hutan, melihat orangutan, memandangi jamur-jamur yang menyala di malam hari. Ia menikmati makan malam di kapal, sambil ditemani begitu banyak kunang-kunang.
“Ketika malam, aku suka naik ke bagian atas boat. Dari atas tak ada polusi cahaya sama sekali. Bintang bertaburan di langit. Pemandangannya bagus banget.” ujarnya.
4. Eco-friendly traveling sama dengan ecotourism
Karena sama-sama ada kata ‘eco’, dan sama-sama mengandung unsur wisata, maka tak sedikit yang menyangka bahwa eco-friendly traveling sama dengan ecotourism. Sebenarnya tidak sama. Eco-friendly traveling lebih pada rasa kepedulian atau tanggung jawab sebagai traveler terhadap lingkungan.
Namun, Diyah melihat ada benang merah di antara keduanya, yaitu sama-sama peduli terhadap alam. Hanya, caranya saja yang berbeda. Ia mencontohkan perilaku eco-friendly traveling. Ketika kita pergi dengan pesawat, artinya ada jejak karbon yang cukup besar. Maksudnya, ada karbondioksida dari pesawat yang dihasilkan dan berpotensi menyebabkan polusi.
Kalau kita paham soal eco-friendly traveling, kita punya tanggung jawab untuk ‘mengganti’ pelepasan karbon tersebut. Salah satu caranya adalah mengadopsi pohon yang sudah cukup besar dan telah menghasilkan banyak oksigen.
Diyah juga menegaskan bahwa perilaku traveling ramah lingkungan wajib diterapkan saat berada di lokasi ekowisata. Saatnya #TimeforActionIndonesia bagi kita untuk bergerak. “Jangan sampai lokasi yang sudah benar-benar dijaga malah dikotori oleh sampah.
Jangan pula mengukir-ukir dan menulis sembarangan. Memang di destinasi ekowisata banyak sekali hal-hal yang sangat bagus. Saking bagusnya, tak sedikit yang tergoda untuk mengukir nama. Percuma datang ke destinasi ekowisata, kalau ujung-ujungnya merusak juga. Harusnya kedatangan kita membuat tempat itu tetap bagus dan lestari.”
Alex juga menyayangkan perilaku tak peduli lingkungan yang dilakukan oleh wisatawan di Gunung Rinjani. Ia pernah menemukan area menghitam akibat kebakaran dari sebuah puntung rokok yang dibuang sembarangan. Ratusan meter persegi lahan tanaman edelweiss hangus terbakar.
“Aku juga menemukan pohon sangat besar yang dikerat-kerat dengan pisau. Janganlah merusak alam sebagus itu. Jangan juga mengambil apa pun dari alam, termasuk bunga edelweiss. Cukup difoto saja. Bukan cuma kita yang ingin menikmati alam. Kalau kita merusaknya, generasi berikutnya bisa menikmati apa?” ungkapnya dalam IG Live yang digagas Hutan Itu Indonesia pertengahan Oktober lalu.
(redaksi)