POJOKNEGERI.COM - Pada Minggu 2 April 2023, konferensi pers dilakukan Sahabat Indonesia Corruption Watch (ICW) sehubungan dengan RUU Perampasan Aset.
Konferensi pers dilakukan via daring melalui channel YouTube @SahabatICW.
Sebelumnya, pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto saat agenda Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Menko Polhukam pada 29 Maret 2023 lalu dinilai menjadi bukti nyata ketidakberpihakan lembaga legislatif dalam agenda pemberantasan korupsi.
Dalam agenda itu, Bambang secara gamblang menyatakan ketidakberanian untuk membahas Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) jika tidak diperintahkan oleh ketua umum partai politik masing-masing anggota DPR. Pernyataan ini semakin menunjukkan bahwa proses legislasi yang seharusnya dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara namun dilakukan hanya didasarkan pada kepentingan kepentingan elit partai.
Argumentasi tersebut bukan tanpa dasar jika berkaca pada proses legislasi beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana diketahui, publik memang kerap disajikan dengan pengesahan sejumlah produk hukum bermasalah, mulai dari UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga terbaru, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Cipta Kerja menjadi UU. Keseluruhan produk hukum tersebut menjadi bukti konkret bahwa pembentukan regulasi merupakan hasil dari konsolidasi elit politik dan bisnis yang telah berhasil mengekang demokrasi.
Atas pernyataan Bambang Wuryanto dikaitkan dengan kondisi saat ini, ada sejumlah hal penting untuk dikritisi.
Pertama, agenda pemberantasan korupsi memang kerap dikesampingkan. Bukan kali pertama, sebelumnya Bambang Wuryanto juga pernah menyatakan keinginannya untuk membahas RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi III, tanpa tedeng aling-aling Bambang menyebutkan bahwa RUU tersebut sulit mendapatkan dukungan karena berpotensi menghalangi upaya politisi untuk mendulang suara dalam proses pemilihan umum (pemilu).
Kedua, pernyataan Bambang Wuryanto menegasikan partisipasi publik dan menempatkan kedaulatan rakyat di bawah kedaulatan elit partai. Padahal, secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan berdasarkan kedaulatan partai politik.
Pembentukan sejumlah regulasi bermasalah beberapa waktu terakhir setidaknya memperlihatkan pola yang sama, yaitu pembahasan hingga pengesahannya dilakukan secara cepat dan tertutup. Sebagai Wakil Rakyat, seharusnya DPR memiliki keberpihakan kepada publik sebagai konstituennya tidak lagi berada di bayang-bayang elit politik partai pengusungnya. Pertanyaan lebih lanjutnya, apakah pembahasan produk hukum kontroversial itu memang sejalan dengan mandat para petinggi partai politik?
Jika memang demikian, menjadi wajar jika publik menilai setiap keputusan DPR pada akhirnya merupakan keputusan segelintir elit partai, bukan didasarkan pada kapasitasnya sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu. Ke depan, realita berpolitik yang diperlihatkan oleh legislatif ini dapat digunakan oleh masyarakat sebagai pertimbangan dalam menggunakan hak suaranya pada kontestasi Pemilu 2024 nanti.
Atas dasar tersebut, kami mendesak Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi pun keluarkan sikap.
Yakni, setiap Ketua Umum Partai Politik untuk mengganti anggota DPR yang duduk di Komisi III yang tidak mendukung percepatan pengundangan RUU Perampasan Aset.
Diminta pula untuk Presiden Joko Widodo segera mengirimkan Surat Presiden untuk mendorong percepatan dan pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR;
Selain itu, Ketua umum PDIP dan ketua umum partai lain (Golkar, Nasdem, Demokrat..dst) memerintahkan Komisi Tiga untuk membahas dan menyelesaikan UU Perampasan Aset.
Terakhir, pemerintah untuk segera membuka naskah terbaru Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) kepada publik, untuk mencegah penyelundupan hukum dalam pembahasan RUU PA;
(redaksi)