POJOKNEGERI.COM - Akademik Pusat Studi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (PUSDIKSI FH UNMUL) menyatakan sikap sikap terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian formil Undang-Undang nomor 6 tahun 2022 tentang penetapan peraturan pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Diketahui, MK pada 2 Oktober 2023 telah memutus setidaknya 5 (lima) perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Kelima putusan tersebut yakni Putusan Nomor 54/PUU-XII/2023; Putusan Nomor 40/PUU-XXI/2023; Nomor 41/PUUXXI/2023; Putusan Nomor 46/PUU-XXI/2023; dan Putusan Nomor 50/PUU-XXI/2023.
Dalam semua amar putusan a quo, Mahkamah menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Terhadap amar putusan a quo dan berbagai pertimbangan Mahkamah didalamnya, PUSDIKSI FH UNMUL patut menyampaikan sikap akademik sebagai berikut:
1. Bahwa sekalipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 adalah undang-undang yang lahir sebagai produk penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) yang proses pembentukannya berbeda dengan undang-undang biasa, tetapi undang-undang a quo tetap harus dimaknai sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan sebagaimana diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022. Hal ini membuat proses pembentukannyapun tetap wajib tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan berlaku secara komulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2. Bahwa perbedaan tahapan pembentukan “undang-undang biasa” dan “undangundang sebagai produk penetapan Perppu” adalah konsekuensi logis yang timbul sebagai akibat dari perbedaan kondisi dan/atau alasan pembentukan kedua produk peraturan tersebut. Namun harus dipahami bahwa hal tersebut tidak lantas membuat partisipasi bermakna (meaningful participation) menjadi tidak relevan diterapkan sebagaimana disebut oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 54/PUU-XII/2023. Terlebih pertama, Mahkamah gagal membangun argumentasi yang logis, rasional dan obyektif soal kenapa meaningful partisipation menjadi tidak relevan dalam proses persetujuan rancangan undang-undang yang berasal dari Perppu; dan kedua Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUUXVII/2020 telah secara tegas menyebut bahwa meaningful participation harus diwujudkan dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang. Ketiadaan meaningful participation pada akhirnya akan membuat undang-undang a quo menjadi produk hukum yang tidak responsif.
3. Bahwa Mahkamah Konstitusi dapat dinilai tidak konsisten dalam menyikapi sifat kemendesakan (emergency) dan sementara (temporary) yang notabenenya merupakan karakter dari Perppu. Hal ini dapat dilihat ketika satu sisi Mahkamah dalam Putusan Nomor 43/PUU-XVIII/2020 berpendapat bahwa “semakin panjang jangka waktu DPR memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan Perppu yang diajukan Presiden akan menghilangkan esensi diterbitkannya Perppu”, tetapi disisi lain melalui Putusan Mahkamah Nomor 54/PUU-XXI/2023 Mahkamah
justru memberikan toleransi waktu yang terbilang panjang kepada DPR dalam memberikan persetujuan terhadap perppu a quo.
4. Bahwa pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang pada intinya menyatakan bahwa “revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dan penetapan Perppu 2 Tahun 2022 oleh Presiden telah sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 91/PUU-XVIII/2020” adalah bentuk kegagalan Mahkamah dalam memahami esensi Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam sub-Paragraf (3.20.3) pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah berpendapat bahwa “Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang
merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat dipahami dengan sangat jelas bahwa amanat untuk melakukan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang (dalam hal ini adalah DPR bersama Presiden) melalui perubahan undang-undang dalam arti undang-undang biasa, bukan undang-undang sebagai produk penetapan perppu.
Pembentukan landasan hukum omnibus dan memperbaiki cata cara pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 sebelum jangka waktu 2 tahun berakhir tidaklah cukup untuk menyebut bahwa pembentuk undangundang telah menjalankan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih telah terungkap di dalam fakta persidangan bahwa pembentuk undang-undang sesungguhnya telah merencanakan membentuk Undang-Undang Cipta Kerja yang masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024, bahkan Presiden telah menyiapkan RUU Cipta Kerja serta melakukan kegiatan konsultasi publik dalam rangka upaya melaksanakan partisipasi yang bermakna.
5. Bahwa Mahkamah Konstitusi dapat dinilai telah mengkesampingkan fakta bahwa persetujuan perppu menjadi undang-undang a quo dilakukan oleh DPR setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan oleh Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang seyogyanya membuat undang-undang a quo kehilangan landasan konstitusionalnya. Lebih lanjut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa, “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan” (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011). Makna frasa “persidangan yang berikut” sesungguhnya mengandung prinsip pembatasan waktu, yaitu hanya pada masa persidangan pertama setelah ditetapkan Perppu oleh Presiden.
Hal ini menjadi penting dikarenakan adanya sifat kegentingan yang memaksa dari Perppu itu sendiri. Dengan kata lain, pembahasan persetujuan terhadap perppu tidak dapat ditunda dan dilakukan pada masa-masa sidang setelah sidang pertama berikutnya.
Demikian sikap akademik ini dibuat sebagai bentuk tanggungjawab Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman untuk turut serta menegakkan supremasi konstitusi. (*)