Denny JA mendorong LSI menjadi lembaga riset sekaligus pemain politik.
Lembaga ini perlu menjadi manajemen politik yang mengidentifikasi calon-calon potensi kuat dan mengadakan perjanjian kerja komersial dengan mereka.
Proyek perdananya survei dan manajemen kampanye SBY pada Pemilu 2004.
Langkah Denny “menyinggung” intelektualitas dan kapasitas Mujani.
Pada saat lembaga survei komersial bekerja maka filosofi survei bukan lagi medium akademik, objektif, tetapi sebaliknya survei sebagai proyek pemenangan kandidat atau survei harus berpihak, tidak netral lagi karena terdapat sponsor yang harus disukseskan, dimenangkan dalam kompetisi politik.
Sejak berkembangnya “survei berbayar” dan “pemain politik”, lembaga survei menjelma seperti “hakim tunggal” yang menentukan dinamika politik dan nasib para kompetitor politik.
Apakah lembaga “survei profesional” otomatis kredibel hasil surveinya dan kinerja manajemen politiknya handal?
Berkaca pada kasus Pemilu Amerika Serikat 2016, dengan kandidat presiden Donald Trump dan Hillary Clinton.
Jajak pendapat oleh 20 lembaga survei plus media televisi dan media lainnya melakukan 80 jajak pendapat sejak pertengahan September 2016.
Sekitar 18 lembaga riset mempublikasikan hasil risetnya, Hillary unggul dari Trump dalam jajak pendapat di seluruh negara bagian Amerika, dan dia hampir pasti menjadi suksesor Presiden Barack Obama.
Dua lembaga survei saja berbeda pendapat, yang mengunggulkan Donald Trump, yaitu Los Angeles Times dan partnernya USC Tracking.
Hasilnya Trump menang, sebaliknya Hillary kalah pada pemilihan presiden Amerika 2016.
Problem survei untuk jajak pendapat adalah tidak hadirnya dimensi-dimensi subjekvitas perilaku pemilih dan kandidat dalam elemen-elemen survei.
Para peneliti yang berbasis pada paradigma positivistik atau metode kuantitatif, plus surveinya berbayar dari kandidat, membuat fakta-fakta berbasis angka sebagai kemutlakan.
Ketika metode kuantitatif yang mereka terapkan dan dioperasikan mengabaikan human error, itu problem etika keilmuan.
Yang menjadi beban moral, survei model pesanan ini diperkuat dengan trik-trik “dirty vote” oleh tim sukses sebagai strategi pembenaran atas klaim-klaim keunggulan dari lembaga survei.
Sebaliknya praktisi riset kualitatif mencoba untuk menambal kelemahan dari riset kuantitatif dengan melakukan survei terhadap dimensi subjektif dari para responden atau informan seperti keterikatan pemilih dengan nilai-nilai agama dari kandidat, nilai-nilai persaudaraan, pertemanan, dan sejenisnya. Dimensi semacam itu oleh masyarakat dikategorikan “aspek hati nurani”.
Periset kualitatif memahami aspek kualitatif semacam hati nurani sebagai fakta sangat penting untuk dikonstruksi ke permukaan.
Mengapa? Seperti pepatah, dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu!
Kekuatan aspek yang tersembunyi oleh para peneliti kualitatif sangat esensial menjadi bagian dalam risetnya agar angka-angka tidak “dituhankan”.
Rabu, 14 Februari 2024, merupakan puncak tahapan pemilu, ketika para pemilih mencoblos calon-calon legislator, senat, dan presiden-wakil presiden.
Coblosan menjadi simbol pembuktian, apakah hati nurani atau survei berbayar yang menentukan hasil Pemilu 2024. (kompas.com)