POJOKNEGERI.COM - Kasus dugaan pencabulan oknum dosen di Balikpapan berinisial AL saat ini masih berproses di Polresta Penajam Paser Utara.
AL sudah menjadi tersangka dalam kasus pencabulan siswi SMP itu.
Diberitakan pojoknegeri.com, aksi amoral diduga dilakukan seorang oknum dosen di Balikpapan kepada siswi sekolah menengah pertama (SMP) asal Penajam Paser Utara (PPU).
Informasi dihimpun, pelaku berinsial AL (44) berhasil menjerat korbannya, yakni remaja gadis berinisial P (14) dengan cara mengiming-iminginnya diberikan pekerjaan menjaga gerai hand sanitizer miliknya.
Dari situlah AL berhasil merenggut kesucian korban yang terbilang belia.
Karena iming-iming itu pula, persetubuhan terjadi tanpa ada paksaan.
“Korban dijanjikan akan dipekerjakan sebagai penjaga kios jualan hand sanitizer milik tersangka di Balikpapan," ucap Kasat Reskrim Polres PPU, Iptu Dian Kusnawan saat dikonfirmasi Rabu (15/9/2021).
Selain itu, lanjut Dian, dari hasil pemeriksaan Korps Bhayangkara juga diketahui korban masih berjumlah satu orang.
“Untuk sementara korbannya baru satu ini. Dan masih kami kembangkan lagi, apakah masih ada korban lainnya,” imbuhnya.
Saat proses masih berlanjut di kepolisian, ada pula narasi bisakah kasus pencabulan dihentikan jika dari pihak keluarga korban sepakat untuk berdamai.
Dilansir dari hukumonline.com, ada pertanyaan yang muncul seperti demikian.
"Bisakah tersangka kasus pencabulan terhadap anak (5 tahun) dibebaskan dari tahanan dengan alasan telah adanya perdamaian di antara korban (keluarga) dengan pelaku (keluarga) yang disaksikan oleh Kades setempat? Kemudian pengaduan telah dicabut oleh keluarga korban dan pihak penyidik telah menghentikan proses penyidikan kasus tersebut. Sementara penerapan pasalnya adalah pasal yang ada di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sementara yang saya ketahui UU tersebut bersifat lex specialis," demikian redaksi yang dilansir tim redaksi.
Jawaban pun diberikan atas pertanyaan itu.
"Pencabulan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82?Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang jo. Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah delik biasa"
"Oleh karena itu, pencabutan laporan oleh keluarga korban tidak dapat menghentikan proses hukum atas kasus tersebut"
Dijelaskan via hukumonline.com, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya.
Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.
Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Perlu diketahui bahwa orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Berbeda dengan delik aduan, dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.
(redaksi)