MPR Dorong Kemudahan Akses Kerja bagi Disabilitas

POJOKNEGERI.COM – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan pentingnya percepatan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Khususnya dalam akses terhadap lapangan kerja dan layanan dasar.
Menurutnya, kondisi penyandang disabilitas di Indonesia masih jauh dari ideal, meskipun payung hukum yang mengatur hak-hak mereka sudah sangat jelas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam keterangannya pada Jumat (12/12), Lestari menyampaikan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai hambatan struktural yang membuat mereka sulit berkembang dan berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial maupun ekonomi.
“Tantangan besar yang dihadapi penyandang disabilitas saat ini, selain sulitnya mengakses layanan dasar, juga sulit mengakses lapangan kerja,” ujarnya.
Data BPS Ungkap Kesenjangan Besar
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, terdapat sekitar 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 17 juta berada pada usia produktif.
Namun, hanya 45 persen dari mereka yang bekerja. Lebih memprihatinkan lagi, 83 persen dari penyandang disabilitas yang bekerja justru terserap di sektor non-formal. Yang umumnya tidak memberikan perlindungan kerja memadai, jaminan sosial, maupun jenjang karier yang jelas.
Angka ini menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan besar untuk memasuki sektor formal. Meskipun undang-undang telah mengatur kewajiban bagi pemerintah dan dunia usaha untuk memberikan kesempatan kerja yang inklusif.
Kewajiban Hukum Belum Optimal
Lestari menyoroti bahwa Pasal 53 UU No. 8/2016 secara tegas mewajibkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD untuk mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2 persen dari total pegawai. Sementara itu, perusahaan swasta wajib menyerap minimal 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas.
Namun, implementasi aturan tersebut masih jauh dari harapan. Banyak instansi dan perusahaan belum memenuhi kuota tersebut, baik karena kurangnya pemahaman, minimnya komitmen, maupun belum tersedianya fasilitas pendukung yang ramah disabilitas.
“Dengan beragam keterbatasan yang dimiliki, penyandang disabilitas selayaknya mendapatkan perhatian lebih sebagai warga negara. Dengan begitu, mereka mampu menjalani keseharian sebagaimana anak bangsa lainnya,” kata Lestari.
Stigma dan Diskriminasi Masih Mengakar
Selain hambatan struktural, penyandang disabilitas juga menghadapi persoalan sosial berupa stigma dan diskriminasi.
Lestari menilai bahwa penolakan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi masyarakat membuat penyandang disabilitas berada dalam kondisi rentan dan berisiko terus hidup dalam kemiskinan.
Menurutnya, tanpa perubahan cara pandang masyarakat dan peningkatan kesadaran publik, kebijakan yang baik sekalipun tidak akan berjalan optimal.
“Dengan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan lapangan kerja, penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan dalam keseharian mereka,” ujarnya.
Perlu Data Terpilah dan Kolaborasi Lintas Sektor
Lestari juga menekankan pentingnya data kependudukan terpilah yang lebih rinci dan akurat.
Data tersebut diperlukan agar setiap kebijakan yang ditujukan bagi penyandang disabilitas dapat tepat sasaran dan sesuai kebutuhan masing-masing kelompok disabilitas.
Ia menilai bahwa pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus membangun kolaborasi yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.
Hal ini mencakup penyediaan fasilitas publik yang ramah disabilitas, pelatihan keterampilan, serta pembukaan akses kerja yang lebih luas.
“Semua pihak terkait harus mampu membangun kolaborasi yang kuat dalam membangun akses layanan kesehatan dan lapangan kerja bagi setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas di Tanah Air,” tegasnya.
Dorongan untuk Aksi Nyata
Lestari berharap agar pemerintah dan sektor swasta tidak hanya berhenti pada komitmen, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk memastikan penyandang disabilitas mendapatkan hak-haknya.
Ia menegaskan bahwa inklusi bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap martabat manusia.
Dengan jumlah penyandang disabilitas yang besar dan potensi produktivitas yang tinggi, Lestari meyakini bahwa pemberdayaan mereka akan memberikan dampak positif bagi pembangunan nasional.
“Penyandang disabilitas adalah bagian dari kekuatan bangsa. Kita harus memastikan mereka mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang,” tutupnya.
(*)
