POJOKNEGERI.COM - BRICS, aliansi ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, baru saja meluncurkan mata uang baru mereka di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia pada 22-24 Oktober 2024.
Langkah ini menandai babak baru dalam percaturan ekonomi global dan mengundang spekulasi tentang masa depan dominasi dollar Amerika Serikat (USD).
Indonesia adalah salah satu anggota dari BRICS yang turut serta dalam KTT ke-16 tersebut diwakili oleh Menteri Luar Negeri RI yang baru saja dilantik, Sugiono.
Peluncuran mata uang BRICS ini bukanlah kejutan total, karena aliansi tersebut telah lama berdiskusi tentang cara-cara mengurangi ketergantungan pada USD dalam perdagangan internasional mereka.
Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan perang dagang antara China dan Amerika Serikat, kebutuhan untuk menemukan alternatif selain dollar menjadi semakin mendesak.
Mata uang BRICS diharapkan dapat menjadi solusi untuk mendukung perdagangan antarnegara anggota tanpa harus bergantung pada USD.
Pada KTT BRICS Plus tersebut, Vladimir Putin yang merupakan presiden Rusia memamerkan uang kertas simbolis yang mewakili mata uang digital baru BRICS.
Kehadiran mata uang BRICS memperkuat agenda dedolarisasi oleh negara-negara anggota untuk memperkuat perdagangan mereka.
Mata uang ini hadir dikarenakan terjadinya ketidakstabilan keuangan global dan kebijakan luar negeri AS yang meningkatkan ketegangan di antara negara-negara BRICS.
Mata uang BRICS diprediksi nantinya akan didukung oleh emas yang diyakinin sebagai penyimpan nilai yang ampuh.
Tapi, apakah kehadiran mata uang BRICS akan mengakhiri era kejayaan Dolar AS yang telah menjadi mata uang Cadangan utama dunia sejak akhir Perang Dunia II?
Meskipun beberapa pejabat BRICS menyerukan agar blok ini melepaskan diri dari dolar sepenuhnya, hal ini akan sangat sulit untuk dilakukan.
Tapi, kehadiran mata uang BRICS adalah sinyal kuat bahwa dunia sedang bergerak menuju sistem ekonomi yang lebih multipolar.
Negara-negara anggota BRICS memiliki potensi ekonomi yang besar dan kerjasama yang semakin erat, dan ini bisa menjadi awal dari perubahan besar dalam dinamika ekonomi global.
Sementara itu, Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 100 persen kepada negara kelompok BRICS jika mereka mengambil langkah yang dinilai dapat melemahkan dolar AS (USD).
Trump melontarkan ancamannya itu kepada negara-negara anggota aliansi BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Turki, Azerbaijan, dan Malaysia telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan aliansi tersebut, sementara sejumlah negara lain juga menyatakan ketertarikannya untuk menjadi anggota, dikutip dari laman VOA Indonesia.
Dolar Amerika Serikat masih menjadi mata uang utama dalam perdagangan global dan berhasil mempertahankan dominasinya meski menghadapi berbagai tantangan di masa lalu.
Namun, anggota aliansi dan negara-negara berkembang lainnya mengaku lelah dengan dominasi Amerika Serikat dalam sistem keuangan dunia.
"Kami menuntut jaminan dari negara-negara ini bahwa mereka tidak akan menciptakan Mata Uang BRICS baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan Dolar Amerika Serikat yang perkasa. Jika tidak, mereka akan menghadapi tarif 100 persen dan harus siap kehilangan akses ke pasar ekonomi Amerika Serikat yang luar biasa," Presiden AS Terpilih, Donald Trump.
Dalam pertemuan puncak BRICS pada Oktober, Presiden Rusia Vladimir Putin menuduh Amerika Serikat "mempersenjatai" dolar dan menyebut langkah tersebut sebagai "kesalahan besar."
Rusia secara aktif mendorong pembentukan sistem pembayaran baru sebagai alternatif jaringan pesan bank global SWIFT, guna memungkinkan Moskow menghindari sanksi Barat dan tetap berdagang dengan mitra-mitra internasionalnya.
Trump menegaskan bahwa BRICS tidak punya puntuk menggantikan dolar Amerika Serikat dalam perdagangan global, dan negara mana pun yang mencoba melakukannya harus mengucapkan selamat tinggal kepada Amerika Serikat.
(*)