"Jadi kita lihat ya bener hanya gimik belaka, menyuapi, memberi makan ke publik fenomena, public fear, ketakutan masyarakat, public question, tapi jawabnya dengan gimik. Memainkan emosi publik. Ini satu psikologi politik yang sudah kelihatan ini hanya strategi belaka," sambungnya.
Mahfud sebelumnya sempat mengunggah karikatur soal rakyat meminta keadilan namun disuruh membeli.
Menurut Julius, jika fenomena itu dilihat dari perspektif institusional hukum tata negara, maka kebobrokan hukum itu seharusnya menjadi tanggungjawab Mahfud.
"Kalau kita lihat dari aspek yang lain di luar hukum dan ketatanegaraan maka terlihat dia seperti mau cuci dosa, bukan cuci tangan. Seolah-olah dia mau mengatakan begini 'kita sudah mengupayakan kok, kita sudah bentengi dan jaga tapi orang-orang ini masih bisa dibeli juga. Jadi bukan salah kami'," ucap Julius.
Ia menilai Mahfud seolah-olah menunjukkan masalah integritas aparat penegak hukum adalah masalah personal yang tidak bisa dijawab melalui program-program institusional, dan pendekatan personal pun ini tidak bisa masuk terlalu dalam karena akan dianggap intervensi terhadap pribadi dari para pejabat hukum tersebut.
"Seolah-olah dia melemparkan wacana seperti itu, padahal tidak. Kebalikannya. Program-program yang menjamin integritas itu nihil malah membuka ruang korupsi yang begitu besar," kata Julius.
Julius menyebut terpukulnya Mahfud ketika mengetahui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 berada di skor 34, atau terburuk sejak reformasi 1998 juga upaya untuk cuci tangan.
"Terpukul, kaget, syok itu juga bagian dari gimik untuk cuci tangan," ujar Julius.
Sebelumnya, Mahfud mengaku terpukul atas IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya.