Lain halnya dengan Khairul yang melihat masalah perbatasan dan konflik Papua sebagai masalah pemerintah.
TNI, terang dia, memang memiliki peran sebagai penegak kedaulatan dan penjaga keutuhan wilayah. Kendati demikian, patut digarisbawahi bahwa masalah tersebut bukan hanya berkaitan dengan isu kedaulatan dan keamanan, serta dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
"Menurut saya itu lebih tepat dikatakan sebagai masalah pemerintah. TNI hanya perlu memastikan kesiapannya mendukung dan mengawal agenda program kebijakan yang dirancang pemerintah di kawasan perbatasan maupun sebagai resolusi konflik di Papua," jelas Khairul.
"TNI bisa mengambil porsi penugasan lain dalam menunjang kinerja pemerintah untuk membangun Papua. Misalnya dengan memperkuat bidang intelijen, pengumpulan informasi dan penyebarluasan propaganda positif di Papua sehingga dapat apa yang diharapkan masyarakat lokal dapat selaras dengan kebijakan pemerintah," tambah dia.
Sementara itu, Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis menilai, TNI tidak bisa melakukan apa-apa terkait Papua karena terkait kebijakan pemerintah sebagai pemegang wewenangnya.
"Selama pemerintah menganggap konflik biasa artinya menempatkan Polri sebagai leading sector dalam penanganan konflik, bukan TNI," kata Beni.
Beni turut menyoroti perihal tantangan atau ancaman saat ini dan ke depan yang berasal dari wilayah maritim.
"Menjaga wilayah Natuna Utara dari ancaman dari negara besar seperti Cina yang terus mengklaim sembilan garis putus sehingga beririsan dengan wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita," terang Beni.
"Di lain sisi, wilayah maritim yang luas ini belum bisa dijaga secara optimal oleh TNI, sehingga kasus pencurian ikan, pelanggaran batas wilayah atau ZEE, penyelundupan, dan lainnya masih terjadi," sambungnya.
(redaksi)