
POJOKNEGERI.COM – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah memberikan tanggapannya soal pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Anis Hidayah mengatakan pemberian gelar itu mencederai fakta sejarah dari pelbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Menurut Anis, sejumlah peristiwa yang terjadi antara tahun 1966 hingga 1998 telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM
Dia kemudian merinci peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.
Di antaranya peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Talangsari, peristiwa Tangjung Priok, dan penerapan DOM Aceh.
“Penetapan ini tidak hanya mencederai cita-cita Reformasi 1998 yang mengamanatkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penetapan sebagai pahlawan nasional mencederai fakta sejarah dari pelbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi masa pemerintahan Soeharto 1966 – 1998,” kata Anis dalam keterangannya, Kamis (11/11/2025).
Lebih lanjut, ia juga menegaskan penetapan Soeharto sebagai pahlawan, melukai para korban pelanggaran HAM berat yang keluarganya yang masih terus menuntut hak-haknya sampai saat ini.
Penetapan Soeharto juga menurutnya tidak lantas memberikan impunitas atas pelbagai kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di masa pemerintahannya.
“Pelbagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat harus terus diproses, diusut, dan dituntaskan demi keadilan dan kebenaran yang hakiki,” ucap Anis.
Terhadap Peristiwa kerusuhan Mei 1998 misalnya, Anis menyebut pada 2003 Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dan menyatakan peristiwa itu sebagai Pelanggaran HAM berat.
Bentuk-bentuk tindakan dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yaitu pembunuhan; perampasan kemerdekaan; penyiksaan; perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; serta persekusi.
“Presiden Joko Widodo pada 2023 telah menyatakan penyesalan dan mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat,” tutur Anis
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional
Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Penganugerahan gelar pahlawan nasional berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Dasar hukum penganugerahannya adalah Keputusan Presiden Nomor 116TK Tahun 2025.
Prosesi digelar bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional pada hari ini.
Prabowo menyerahkan langsung secara simbolis gelar pahlawan nasional ini ke putra ke-3 Soeharto, Bambang Trihatmodjo.
Turut hadir anak Soeharto yang lain, Siti Hardijanti atau Tutut Soeharto.
Soeharto menjabat sebagai Presiden RI selama 32 tahun. Kepemimpinannya dimulai ditandai dengan surat perintah 11 Maret 1966 hingga pecahnya reformasi pada 1998.
Ketua MPR Beri Apresiasi
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Ahmad Muzani, menyampaikan apresiasi atas keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Menurut Muzani, langkah tersebut merupakan bentuk penghargaan negara terhadap jasa-jasa besar Soeharto dalam membangun bangsa dan negara.
Dalam pernyataannya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/11), Muzani menilai pemberian gelar itu sebagai tradisi yang baik dan patut dilestarikan.
Ia menyebutnya sebagai bentuk penghormatan dari generasi penerus kepada para pemimpin terdahulu.
“Saya kira yang dilakukan oleh pemerintah sekali lagi juga penghargaan dari negara pemerintah atas jasa-jasanya kepada Pak Harto, bagaimana kita memberi ruang kepada kebaikan-kebaikan, perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh para pemimpin kita dulu dan sekarang penghargaan itu diberikan,” ujar Muzani.
Lebih lanjut, Muzani menekankan bahwa tradisi semacam ini mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, di mana generasi muda menghormati para pendahulunya. Ia menyebutnya sebagai bentuk penghormatan dari “junior kepada seniornya, dari anak kepada bapaknya.”
“Meskipun manusia biasa tentu saja ada salah, ada lupa,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Muzani juga mengangkat falsafah Jawa “mikul dhuwur mendhem jero” sebagai prinsip penting dalam menyikapi warisan para pemimpin.
Falsafah ini mengajarkan masyarakat untuk mengangkat tinggi jasa dan kebaikan seseorang, sekaligus menyimpan dalam-dalam kekurangan atau kesalahannya.
“Tetapi proses itu kita diajarkan untuk mikul dhuwur mendhem jero, menghormati atas jasa, mengenang atas kebaikan. Kemudian kita menutup atas kekurangan-kekurangan dan tidak meniru atas kesalahan-kesalahan,” jelas Muzani.
(*)
