dalam permainan tersebut sebenarnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena seluruh hasil dari permainan itu disumbangkan kepada pihak keluarga yang mengadakan acara. Sebab prosesi acara tersebut diperlukan anggaran yang cukup besar.
“Botor Buyang ini dulu pernah ditertibkan pada 2012, dan juga sempat di mediasi oleh Komisi I DPRD Kaltim. Namun kegiatan tersebut tetap berjalan dengan menggandeng pihak kepolisian untuk pengamanan selama prosesi adat berlangsung,” ungkap Bahar.
Permasalahannya adalah bagi Suku Dayak Botor Buyang merupakan bagian dari kegiatan adat yang turun temurun.
“Kami di DPRD melihat berdasarkan diskusi pada RDP yang berkembang bahwa Botor Buyang tak bisa lepas dari adat istiadat Suku Dayak. Namun yang perlu ditekankan bahwa kegiatan apapun kalau ada payung hukumnya, tentu tidak ada pelarangan. Sedangkan Botor Buyang dianggap meresahkan karena ada unsur perjudian di dalamnya,” imbuhnya.
Bahruddin Demu mengungkapkan, sebelumnya para pemangku adat Suku Dayak pernah melakukan musyawarah besar Adat Dayak se-Kaltim.
Dalam musyawarah besar tersebut diputuskan bahwa Botor Buyang menjadi bagian dari ritual adat yang tak bisa dipisahkan, namun keputusan itu belum dilirik oleh pihak kepolisian sebagai payung hukum yang sah.
(Advetorial)