Internasional

Ketegangan Jepang–China Memuncak, Taiwan Jadi Sorotan

POJOKNEGERI.COM – Ketegangan diplomatik antara Jepang dan China kembali memuncak setelah insiden penerbangan yang memicu saling tuding dan pernyataan keras dari kedua negara.

Perselisihan tersebut melebar hingga ke isu sejarah, Taiwan, serta hubungan strategis dua kekuatan besar Asia Timur itu. Bahkan, dalam sebuah forum resmi bersama Jerman, Beijing secara terbuka menegur Jepang di depan tamu internasional.

Insiden ini bermula dari laporan Jepang bahwa sebuah jet tempur China telah mengarahkan radar penjejak ke pesawat militer Jepang di wilayah udara sekitar Laut China Timur.

Tokyo menyebut tindakan itu sebagai langkah berbahaya dan bentuk eskalasi yang tidak perlu. Namun pihak Beijing membantah tudingan tersebut, dan balik menuduh Jepang sebagai pihak yang memicu ketegangan.

Sementara polemik itu bergulir, China menggunakan momen diplomatik untuk menyampaikan pesan keras. Dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul di Beijing pada Senin (8/12/2025), Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengaitkan insiden tersebut dengan sensitivitas sejarah dan ambisi politik Jepang terkait Taiwan.

Wang mengatakan Jepang perlu “lebih berhati-hati” dalam mengambil tindakan, terutama mengingat posisinya sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II.

“Dalam konteks memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Jepang seharusnya bertindak dengan lebih rendah hati dan penuh tanggung jawab sebagai negara yang kalah perang,” ujar Wang, seperti pemberitaan Xinhua.

Wang kemudian menuding pemimpin politik Jepang telah “mengeksploitasi isu Taiwan” guna memprovokasi Beijing. Ia juga mengingatkan bahwa Taiwan pernah berada di bawah pendudukan Jepang selama setengah abad sebelum 1945, periode yang menurutnya penuh dengan “kejahatan terhadap rakyat China”.

“Namun kini, pemimpinnya mencoba menggunakan isu Taiwan untuk memancing masalah dan bahkan mengancam China secara militer. Ini sepenuhnya tidak dapat diterima,” ucapnya.

Pernyataan keras itu merespons sejumlah komentar dari Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi dalam beberapa bulan terakhir. Takaichi menyebut Jepang memiliki hak merespons jika konflik militer China terhadap Taiwan berpotensi mengancam keamanan nasional Tokyo.

Reaksi Beijing

Komentar itu memicu reaksi keras dari Beijing, yang menganggap pernyataan tersebut sebagai campur tangan terhadap apa yang mereka klaim sebagai urusan internal China.

Beijing secara konsisten menegaskan bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya dan menyebut “fakta sejarah dan hukum” telah menetapkan posisi tersebut. Namun di Taipei, pemerintah Taiwan tegas menolak klaim tersebut dan menuduh China memutarbalikkan sejarah.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taiwan, Hsiao Kuang-wei, mengatakan bahwa Taiwan “tidak pernah diperintah” oleh Republik Rakyat China dan tidak berada di bawah yurisdiksi Beijing.

“Hanya pemerintah Taiwan yang secara demokratis yang dapat mewakili 23 juta rakyat Taiwan di komunitas internasional,” ujar Hsiao seperti pemberitaan Reuters.

Kontestasi naratif ini memperkeras ketegangan yang telah meningkat sejak lama, terutama di wilayah udara dan perairan sekitar Taiwan serta jalur strategis seperti Selat Miyako.

Beijing mengeklaim jet tempurnya beroperasi dalam koridor latihan yang sah dan telah diumumkan sebelumnya. China juga menyatakan bahwa pesawat Jepang justru yang berulang kali “mendekati dan mengganggu” latihan penerbangan berbasis kapal induk milik Beijing.

Di sisi lain, pemerintah Jepang tetap mempertahankan posisi bahwa radar penjejak yang diarahkan ke pesawat militernya merupakan tindakan berbahaya dan tidak dapat ditoleransi. Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Minoru Kihara kembali menegaskan hal tersebut dalam konferensi pers pada Selasa.

“Penyinaran radar secara intermiten adalah tindakan berbahaya yang melampaui batas aman dan perlu,” ujar Kihara. Ia juga ditanya mengenai laporan bahwa China tidak menjawab panggilan Jepang melalui hotline militer bilateral yang dibentuk pada 2018.

Hotline itu dirancang sebagai instrumen mencegah miskalkulasi militer yang dapat berujung pada konflik. Namun Kihara menolak memberikan konfirmasi mengenai detail komunikasi tersebut.

Rapuhnya Hubungan Keamanan di Kawasan Indo-Pasifik

Ketegangan ini mencerminkan rapuhnya hubungan keamanan di kawasan Indo-Pasifik, terutama ketika dua kekuatan ekonomi besar yaitu Jepang dan China memiliki kepentingan strategis yang saling bertentangan.

Di satu sisi, Jepang memiliki komitmen terhadap aliansi keamanan dengan Amerika Serikat, yang menegaskan pentingnya stabilitas di sekitar Taiwan. Di sisi lain, China memandang setiap upaya negara lain mendekati Taiwan sebagai ancaman terhadap kedaulatannya.

Selain itu, dimensi sejarah juga terus membayangi hubungan bilateral. Pendudukan Jepang atas sebagian wilayah China pada awal abad ke-20 masih menjadi sumber sensitivitas politik yang mudah memicu perdebatan emosional. Ketika isu Taiwan kini kembali mencuat, Beijing memanfaatkan memori sejarah itu sebagai alat diplomatik untuk menekan Tokyo.

Situasi ini pun menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat internasional bahwa potensi insiden militer dapat meningkat. Mengingat wilayah udara sekitar Jepang dan China merupakan jalur lintasan padat. Kesalahan komunikasi atau manuver berisiko tinggi dapat memicu eskalasi yang tidak diinginkan.

Sejauh ini, baik Tokyo maupun Beijing belum memberikan indikasi adanya upaya diplomatik baru untuk menurunkan tensi. Namun sejumlah negara Eropa, termasuk Jerman, terus memantau perkembangan tersebut.

Pertemuan Wang dengan Menlu Jerman menjadi sinyal bahwa isu ini telah menjadi perhatian global, terutama karena dapat mempengaruhi stabilitas kawasan Indo-Pasifik yang memiliki dampak luas pada perdagangan internasional.

Dengan kedua pihak saling mempertahankan narasi dan klaimnya, ketegangan antara Jepang dan China tampaknya masih jauh dari mereda.

Artikel ini telah tayang di YouTube Pojok Negeri Media:

https://www.youtube.com/watch?v=twfEFGBv5Aw

Back to top button