Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim menilai, kejadian meninggalnya anak di lubang bekas tambang bakal terulang jika tidak ada langkah strategis dari pemerintah.
"Problem berulang dari model ekonomi ekstraktif yang mengabaikan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat seperti ini harusnya sudah beralih ke ekonomi nusantara, sebagai ekonomi tanding yang bersih, berkelanjutan dan tidak mematikan" ucap Yohana Tiko, Direktur WALHI Kaltim.
Menurut Akademisi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, setelah operasi penambangan berakhir ada kewajiban yang mutlak dilakukan oleh pemegang izin tambang yakni melaksanakan reklamasi dan pascatambang.
Herdiansyah Hamzah menegaskan "siapapun yang abai dengan kewajiban ini, jelas adalah kejahatan yang berkonsekuensi pidana" termasuk pemimpin daerah seperti Gubernur yang diam dan abai atas peristiwa ini.
Ia mengatakan bahwa dalam ketentuan Pasal 161B ayat (1) UU 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Minerba, disebutkan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah”.
"Bahkan dalam ketentuan Pasal 164 UU a quo, pelaku tindak pidana juga dapat dikenai “hukuman tambahan” berupa perampasan barang, perampasan keuntungan, dan kewajiban membayar biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut. Batas waktu pun diatur, apalagi CV Arjuna sudah bertahun-tahun sudah tidak beroperasi lagi, lalu mengapa Lubang Tambangnya dibiarkan menganga ? Tanpa reklamasi dan pemulihan," tambah Buyung Marajo Pokja 30 dan Fathul dari LBH Samarinda.
Dikutip dari data JATAM Nasional, sejak 2014 hingga 2020 total sudah 168 korban lubang tambang yang nyawanya melayang di seluruh Indonesia dan masih terancam 3.092 lubang tambang yang masih menganga, berisi air beracun dan mengandung logam berat bahkan berada di dekat kawasan padat pemukiman sehingga menjadi “bom waktu”.