"Klausul tersebut tidak serta merta memberikan kita mekanisme apakah langsung atau tidak langsung. Kurang lebih sudah 50 tahun kurang setahun kita telah melakukan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dengan mekanisme secara tidak langsung. Baru setelah tahun 2005 kita mempraktikkan Pilkada langsung," kata Muhadam.
Meski begitu, Muhadam mengkritik mekanisme dropping penjabat kepala daerah dari pusat. Menurutnya, pembuat kebijakan mekanisme itu membayangkan bahwa kabupaten/kota dan provinsi adalah daerah administrasi.
"Padahal ciri daerah otonom itu adalah kepala eksekutifnya dipilih, council-nya juga dipilih. Tetapi apakah salah Pasal 201 UU 10 2016 tentang Pilkada? Tidak keliru Kemendagri, yang salah adalah pembuat Pasal itu yang membayangkan bahwa daerah itu wilayah administrasi," jelas Muhadam.
Ia menambahkan, baik mekanisme Pilkada langsung maupun tidak langsung keduanya berpeluang terjadinya politik uang.
"Tetapi pertanyaannya, manakah dari kedua mekanisme itu yang bisa dikontrol? Pendapat saya adalah yang tidak langsung lebih bisa dikendalikan. Sebab PPATK bisa mengontrol 20-50 orang di DPRD tapi tidak mungkin mengontrol semua rakyat yang ikut pemilihan," tandasnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)