Jelas hal tersebut dilarang oleh UU TNI.
"Soal rangkap jabatan di BUMN dan soal LHKPN saya kira ini harus ditegakkan dan menjadi PR panglima TNI kedepan. Selain itu juga agar menunjukkan profesionalisme TNI," katanya.
Selain itu, situasi pemilihan Panglima TNI kali ini juga mengarah pada konflik internal matra, dimana terjadi dukung mendukung yang tidak sehat.
Ini sebagai bentuk politisasi jabatan Panglima TNI yang dijadikan batu pijakan untuk Pilpres 2024 nanti.
"Memang jabatan Panglima TNI strategis karena pasca purna rata-rata memiliki daya tawar politik sehingga dilirik oleh publik dan kekuatan politik," ucapnya.
"Sekali lagi, jabatan Panglima TNI memang tak lepas dari dimensi politik sehingga jika kemudian terjadi dukung mendukung, dari kalangan sipil, terutama Parpol tak bisa dihindarkan," tambahnya.
Arif menegaskan dukung mendukung semacam itu tak boleh mengganggu soliditas TNI dan mesti didorong agar makin profesional.
Terkait Panglima TNI bisa menjadi pijakan di 2024 memang realitasnya demikian, karena jabatan panglima TNI pasca pensiun biasanya memiliki daya tawar politik dan kerap dilirik publik sebagai calon pemimpin potensial.
Arif memaparkan, kursi Panglima TNI adalah kursi penting dalam politik Indonesia.
Kursi tersebut bisa membuka karier seseorang di dunia politik nasional.
"Jabatan panglima TNI jelas seksi karena bisa menjadi gerbang untuk kekuasaan," paparnya.
Apalagi kursi Panglima TNI adalah jabatan tertinggi di TNI.
Ia akan menjadi sorotan publik dan masuk dalam lingkaran elite kekuasaan.
Hal tersebut, kata Arif, terbukti dengan sejumlah mantan Panglima TNI yang hidup di kekuasaan seperti Wiranto hingga Moeldoko.
Arif pun mengaku, kans untuk para mantan panglima menduduki jabatan seksi di pemerintahan tinggi, bahkan bisa menjadi kandidat capres/cawapres hingga membuat "kereta sendiri" dengan membentuk partai politik.
Diketahui, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan pensiun pada November 2021.