POJOKNEGERI.COM - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) Kepala Bareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto patut dicurigai.
“Harta Kekayaan Kepala Bareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto patut mendapat sorotan,” tulis akun Instagram @yayasanlbhindonesia dan @sahabaticw dikutip Senin (22/5).
Hal ini lantaran berkaitan dengan kabar istri Komjen Agus Andrianto yang kerap memamerkan gaya hidup mewah, seperti memiliki tas dengan harga fantastis hingga liburan ke luar negeri.
“Sebab istrinya diketahui kerap memamerkan gaya hidup mewah seperti tas puluhan juta hingga liburan ke luar negeri,” tulisnya dalam keterangan.
Padahal dalam laporan hartanya diketahui kekayaan Agus Andrianto pada tahun 2016 hanya mencapai 1,7 Miliar.
Meski telah menjabat sebagai petinggi Polri sejak 2008, Agus Adrianto tercatat hanya sebanyak 3 kali melaporkan LHKPN.
Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2017, setiap pejabat tinggi Polri diwajibkan untuk melaporkan LHKPN kepada KPK.
Ketidakpatuhan atas pelaporan LHKPN ini setidaknya mengindikasikan Jenderal Polisi bintang tiga ini menutupi kekayaan dan sumber pendapatannya.
Berdasarkan sejumlah pemberitaan, nama Agus sempat dikaitkan dengan kasus dugaan penerimaan gratifikasi pertambangan batu bara ilegal yang menyeret nama Ismail Bolong.
Tak hanya Agus, belakangan Istrinya juga diisebut sebagai salah satu pemilik saham di PT. Ferolindo Mineral Nusantara.
Hal ini pun tak lepas dari pengamatan Pengamat Hukum Pidana, Herdiansyah Hamzah.
Pria yang akrab disapa Castro menyebut LHKPN adalah bentuk transparansi dan publik diminta sama-sama memantau.
"LHKPN pejabat Polri merupakan kegiatan untuk mewujudkan transparansi di institusi Polri. Kami mengajak publik bersama-sama melakukan pemantauan LHKPN pejabat Polri," Ujar Castro.
Castro menambahkan, sejumlah kasus yang melibatkan oknum petinggi Institusi Polri acap kali hilang di tengah jalan.
Castro menilai ada upaya-upaya untuk menutupi jejak langkah hitam pata petinggi di Kepolisian Republik Indonesia.
"Saya pikir makin terang tudingan publik, mengapa perkara-perkara yg melibatkan anggota kepolisian dibiarkan mengambang. Itu agar kotak pandora keterlibatan petinggi-petinggi Polri tidak dibuka. Sengaja diendapkan untuk menutupi jejak kejahatan para petingginya," Jelas Castro.
Langkah ini menurut Castro semakin menurunkan citra polisi dimata publik.
Dari tahun ke tahun indeks kepercayaan publik kepada institusi yang pernah dijabat Tito Karnavian ini terus mengalami penurunan.
"Saya pikir publik tidak bodoh. Publik paham kok dengan sandiwara yg sedang dilakoni. Oleh karenanya, kepercayaan publik terhadap institusi polri akan semakin menurun. Polri gagal meyakinkan publik," Sebut Castro.
Castro menyarankan agar semua penyelidikan dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oknum petinggi Polri diserahkan kepada Kejaksaan atau KPK.
"Memang lebih baik APH (Aparat Penegak Hukum) lainnya, baik KPK ataupun kejaksaan mengambil alih kasus dugaan suap dan gratifikasinya. Tidak hanya untuk menjawab keresahan publik terhadap kasus ini, tapi juga untuk mengembalikan citra APH yg makin buruk dimata publik," tutup Castro yang baru saja mendapat gelar Doktor dari Universitas Gadjah Mada ini.
(Redaksi)