Kedua, telah dibiarkan oleh pemerintah persaingan CPO ini sebagai produk pangan perut dan produk energi biodisel.
Dalam hal ini ia melihat, energi lebih dimenangkan. Oleh karena persoalan pangan dinomorduakan, Faisal menyebut akibatnya pengusaha ingin harga tinggi sementara konsumen ingin harga yang rendah.
"Dalam kasus ini saya tidak melihat adanya mafia, lebih disebabkan karena dua prinsip dasar. tidak terpenuhi yakni pemerintah menciptakan dua harga untuk CPO. Oleh karena itu, pengusaha ingin harga yang tinggi sementara konsumen ingin harga yang rendah," jelasnya.
Terkait dua harga CPO, Faisal menilai pemerintah lebih baik menerapkan pajak ekspor sehingga tidak otomatis harga luar negeri itu sama dengan luar negeri.
"Kita ingin setiap kebijakan pemerintah punya kuasa luar biasa. Jadi ekspor misalnya harganya 100, kemudian kita ingin di dalam negeri 70, maka kenakan saja pajak ekspor 30 persen. Tidak otomatis harga luar negeri itu sama dengan di dalam negeri," ungkapnya.
"Kalau mau 50 (harga beli importir), maka pajak ekspornya 50 persen. Jadi pemerintah punya kuasa, tapi tidak mau melaksanakan. Justru mengeluarkan DMO DPO padahal yang paling efektif adalah menerapkan pajak ekspor. Inilah yang harus diselesaikan akar masalahnya," tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, empat tersangka telah diumumkan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
Dari keempat tersangka itu terdiri dari unsur pemerintah serta pihak swasta.
Dari unsur pemerintah, tersangka yang disebutkan adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana (IWW).
Sementara ketiga tersangka lain dari pihak swasta, menyasar beberapa petinggi perusahaan.
Bahkan sampai ke level komisaris.