Rezim Hafez kemudian merevisi aturan usia calon presiden sehingga Bashar al-Assad dapat mencalonkan diri pada pemilu tahun 2000, menyusul kematian Hafez al-Assad.
Setelah 11 tahun berkuasa, protes pecah pada tahun 2011 untuk menuntut pengunduran diri Bashar Al-Assad.
Kekerasan meningkat ketika pasukan keamanan Suriah menembaki para demonstran, menewaskan sejumlah orang.
Kelompok pemberontak, HTS dan faksi lainnya yang didukung Turki, muncul mengambil peran untuk meruntuhkan kekuasaan Bashar Al-Assad.
Iran melakukan intervensi militer di Suriah pada tahun 2012, setelah memberikan bantuan politik dan logistik pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 2015, Rusia secara militer membantu Assad merebut kembali sebagian besar negara dari HTS, Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS), dan puluhan kelompok bersenjata yang didukung Amerika Serikat (AS).
Pada tahun 2016, Presiden Bashar al-Assad berhasil mempertahankan kekuasaan di Aleppo, yang merupakan kota terbesar kedua di negara itu setelah Damaskus.
Aksi saling serang antara militer Suriah dan kelompok pemberontak masih terjadi, hingga pada tahun 2020, Rusia dan Turki menengahi perjanjian gencatan senjata kedua pihak di Suriah.
Namun, pertempuran meletus lagi ketika HTS dan milisi sekutunya menyerang kota Aleppo yang dikuasai pemerintah di Suriah utara dan merebut Kota Aleppo, Idlib, Hama, hingga Homs yang direbut baru-baru ini.
Ketika Putin sibuk dengan perang di Suriah, Luksemburg justru bersiap melakukan "serangan" ke Rusia.
Perdana Menteri (PM) Luksemburg Xavier Bettel mengatakan, bahwa kondisi pinggiran Kota Borodianka yang dilanda perang di Ukraina adalah simbol kekejaman dan kekerasan yang tak masuk akal.