POJOKNEGERI.COM - Politikus senior PDI Perjuangan, Panda Nababan, berdebat panas dengan politikus Golkar, Nusron Wahid, soal istilah petugas partai.
Panda dan PDIP tak mempermasalahkan adanya istilah itu, sementara Nusron menyebut istilah itu salah.
Panda mulanya mengatakan bahwa menurut Presiden ke-1 RI Sukarno, politik adalah kumpulan kekuatan yang alatnya adalah partai politik.
Di dalam partai, lanjutnya, terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.
Namun Panda merasa banyak orang yang menghina istilah petugas partai.
Dia menyebut seharusnya siapa pun, termasuk Presiden, tidak merasa terhina jika disebut sebagai petugas partai.
"Lantas petugas dihina-hina, merasa terhina sebagai presiden dibilang petugas partai. Itu sombong, tinggi hati, pamali itu. Nggak pantas ngomong begitu," ucap Panda Nababan, dikutip dari detik.com.
Bagi Panda, jabatan petugas partai adalah jabatan terhormat.
Dia pun pernah menjadi petugas partai saat ditunjuk jadi Ketua DPD PDIP Sumatera Utara.
Demikian juga dengan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, yang menjadi petugas partai sebagai Ketua Umum PDIP.
Sementara itu, politikus Golkar, Nusron Wahid, menyebut istilah petugas partai bukalah istilah yang umum ada di masyarakat.
Menurutnya, saat ada kader partai menjabat jabatan publik, maka dia milik semua rakyat.
Baginya, jika ada orang menjadi presiden, meski dia didukung dan kader partai politik, orang itu tak lagi menjadi petugas partai.
"Ketika dia menjadi presiden, dia tidak lagi menjadi milik PDIP, bukan petugas PDIP, tapi petugas rakyat dan bangsa Indonesia. Petugas rakyat dan bangsa Indonesia dalam rangka sejahterakan, memakmurkan rakyat Indonesia," ungkap Nusron.
Panda menyampaikan pandangan Nusron adalah salah.
Dia meminta Nusron tidak memisahkan istilah petugas partai dengan petugas rakyat.
Panda menekankan petugas partai juga merupakan milik rakyat. Karena itu, menurutnya, tak tepat memisahkan rakyat dengan partai.
Tak hanya soal petugas partai saja yang keduanya debatkan, namun juga terkait dengan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Nusron Wahid memuji prestasi Gibran Rakabuming Raka yang menjadi cawapres Prabowo Subianto di usia 36 tahun.
Nusron menyebut apa yang dicapai Gibran itu tidak mudah.
Pernyataan Nusron itu lalu ditimpali Panda Nababan.
Nusron langsung merespons ucapan Panda.
Dia membandingkan dengan Presiden ke-1 RI Sukarno dan Presiden ke-2 RI Soeharto yang sama-sama tidak bisa menjadikan anak-anaknya jadi cawapres di usia muda seperti Gibran.
"Bos, Sukarno pun presiden nggak bisa menjadikan Bu Mega jadi calon wakil presiden, Pak Harto pun nggak bisa. Kenapa? Karena nggak punya prestasi waktu muda itu," tegas Nusron.
Nusron mengatakan Soeharto yang menjadi Presiden RI hingga 32 tahun tidak bisa menjadikan anak-anaknya sebagai cawapres di usia muda karena masyarakat dan partai politik menilai tak memiliki prestasi.
Dia menegaskan alasan Koalisi Indonesia Maju memilih Gibran sebagai cawapres Prabowo itu karena prestasinya.
Terakhir, Nusron Wahid mengkritik pernyataan hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat soal prahara di MK setelah keluar keputusan batas usia capres-cawapres.
Menurut Nusron, hal semacam itu tak etik disampaikan ke publik oleh hakim MK.
Menurut Nusron, menyampaikan argumentasi di persidangan tak boleh disampaikan di luar sidang.
Menurutnya, hal itu merupakan etika.
Namun Nusron tak mau menduga-duga alasan hakim Arief melakukan yang demikian.
Baginya, jika dia menduga-duga, maka dia anggap ada rekayasa dalam keputusan yang bisa meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto itu. (redaksi)