POJOKNEGERI.COM - Beritanya sudah sekitar dua hari lalu.
Tapi, kesalnya sih masih terasa sampai sekarang.
Ini soal Rektor Universitas Lampung.
Orang tua penulis tak termasuk orang yang memberikan suap penerimaan mahasiswa baru.
Ibu cuma seorang guru, bapak sudah meninggal ketika penulis masih kecil. Jadi, mau suap-suap gitu kayaknya bakalah susah.
Susah, karena uangnya memang enggak ada.
------
Kejadiannya melukai banget dunia pendidikan.
Rasanya mungkin kayak sedang cinta-cintanya terus diputusin. Lukanya sih gak kelihatan, tapi sakit.
It hurts so deep. Huo huo huo huo.
Salahku apa, kurangnya apa? Kenapa kamu tega? Overthinking-nya bisa berhari-hari, bermalam-malam.
Lah, kok malah saya curhat....
Beritanya tuh kayak gitu.
Have you been annoyed?
Namanya Prof Karomani.
Ia menjadi tersangka kasus dugaan suap penerimaan calon mahasiswa baru pada Universitas Lampung tahun 2022.
Karomani pun tak sendirian. Mungkin dia senang berteman dengan circle-nya itu.
Ia menyerat nama-nama lainnya yang juga ditangkap KPK.
Tiga tersangka lain adalah HY (Heryandi) sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademi Unila, MB (Muhammad Basri) sebagai Ketua Senat Unila, dan AD (Andi Desfiandi) dari pihak swasta.
Yang jadi "wah" adalah dugaan tarif yang diterapkan untuk kasus dugaan suap ini.
Diduga, ia menerima Rp 100-350 juta per penerimaan mahasiswa tersebut.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan selama proses Simanila itu, Karomani aktif terlibat langsung dalam menentukan kelulusan para peserta.
Salah satunya dengan memerintahkan bawahannya menyeleksi secara personal kesanggupan orang tua mahasiswa untuk memberikan sejumlah uang.
"Yang apabila ingin dinyatakan lulus, dapat dibantu dengan menyerahkan sejumlah uang, selain uang resmi yang dibayarkan sesuai mekanisme yang ditentukan pihak universitas,"kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers KPK.
Tambah kesal kan?
Aduh, pusing kepalaku memikirkan dia.
Penulis jadi berandai-andai, bagaimana sang rektor bisa meyakinkan para ortu untuk memberikan uangnya. Besarannya itu loh, ratusan juta.
Para ortu ini, bisa dibilang, mereka juga jadi korban. Terlepas, dari mereka yang jadi pemberi.
Mereka korban yang memiliki uang banyak.
Memiliki uang banyak, ortu-ortu ini sudah pasti juga berpendidikan. Punya background edukasi yang bisa saja melewati Strata 1, atau bisa juga sampai level S2.
Meyakinkan orang dengan level pendidikan Strata 1 itu tidak mudah. Perlu trust, kompetensi, dan tentu saja jejak karir dan pendidikan yang, ehm, minimal setara.
Kan agak aneh, jika seorang penjual es krim bisa menipu manajer perusahaan yang berpendidikan S1. Itu agak susah.
Mungkin saja, Karomani dengan santai kenakan celana jeans biru dan sweater hitam polos ala Steve Jobs, sambil berujar:
"Tenang saja, bapak ibu. Anak Anda pasti bisa masuk ke Unila. Kalau lulus nanti juga akan dibantu dicarikan kerja. Di perusahaan-perusahaan besar. Ini karena link-link perusahaan kami banyak. Uang segitu akan balik cepat, ditambah anak-anak bapak-ibu nanti bisa kerja di perusahaan ternama. Kalau sudah begitu, bapak sama ibu sudah pasti bangga," mungkin begitu kali ya, cara marketingnya Karomani.
Atau bisa saja dia mengikuti gaya Elon Musk.
Mengenakan jas hitam rapi, berbicara pelan, nada santai tetapi yakin.
"Saat ini, sudah banyak sekali yang mempercayakan anak didiknya pada kami. Keputusan mau dan tidak, itu tetap saja di tangan bapak atau ibu. Jadi saya tanya lagi, mau ikut bergabung untuk membangun masa depan anak Anda atau tidak? Ingat orang tua itu punya tanggung jawab loh," mungkin itu katanya.
Mungkin juga dengan gaya-gaya Gus Samsudin.
"Ya, kita lihat. Kita lihat ada apa di sini. Kalau bapak ibu pernah pergi ke gunung," ujarnya sambil menggerakkan tangan kanan seperti meraba sesuatu.
"Okelah pak, saya yakin," ujar seorang ibu dengan nada pelan tapi menggembirakan.
(Obrolan di atas itu cuma bayangan penulis saja)
Dari keterangan KPK, Karomani ini punya kuasa.
Ia bisa memerintahkan dosen untuk mengambil uang penagihan di dugaan suap penerimaan mahasiswa baru itu.
Karomani diduga memerintahkan Mualimin selaku dosen mengumpulkan uang dari para orang tua yang ingin anaknya diluluskan.
Dikutip dari Kompas.com, uang yang diterima Karomani melalui Mualimin seluruhnya adalah Rp 603 juta.
Sekitar Rp 575 juta telah digunakan untuk keperluan pribadinya.
KPK juga menemukan adanya sejumlah uang yang diterima oleh Karomani dari Budi Sutomo dan M Basri yang berasal dari pihak orang tua calon mahasiswa yang telah dialih bentuk menjadi tabungan deposito, emas batangan.
Dalam operasi tangkap tangan ini KPK telah mengamankan barang bukti yang diduga merupakan suap tersebut.
Barang bukti itu yakni uang senilai Rp 414,5 juta; deposito bank senilai Rp 800 juta; kunci save deposit boks diduga isi emas setara Rp 1,4 miliar; dan kartu ATM serta buku tabungan yang berisi Rp 1,8 miliar.
Nah, mengapa bisa ada proses suap menyuap dalam PM? Itu Karomani yang tahu.
Dia yang diduga terima uang. Dia yang ditangkap KPK.
Tetapi, dari pola yang dijabarkan KPK, penerimaan suap itu masuk dalam proses jalur masuk mandiri perguruan tinggi.
Jalur mandiri adalah salah satu pintu masuk calon mahasiswa untuk mendapatkan bangku di kampus melalui keputusan setiap pengelola perguruan tinggi negeri.
Dosen yang juga peneliti dan aktivis antikorupsi dari Pusat Studi Antikorupsi, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, memberikan pendapatnya dalam pemberitaan VOA dilihat pada Selasa (23/8/2022).
“Karena memang ada ruang yang dimunculkan. Ada ruang yang dibangun dari skema kelas mandiri itu. Jadi, transaksi jual beli kursi pun, itu diakibatkan oleh dibukanya kelas-kelas mandiri yang memungkinkan, transaksi jual beli itu terjadi antara universitas dengan calon mahasiswa,” kata Herdiansyah.
Kelas mandiri memberi peluang kepada kampus negeri untuk memberi opsi sumbangan dari calon mahasiswa.
Karena keputusan diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa berada di tangan kampus, Karomani memanfaatkan celah tersebut.
Secara sederhana, dia memperjualbelikan kursi di perguruan tinggi negeri yang dipimpinnya, kepada mereka yang mau membayar.
“Sebenarnya kalau untuk jangka pendek, saya lebih sepakat kalau-kelas mandiri itu dihilangkan saja. Justru kelas regulernya yang mesti ditambah. Cuma, lagi-lagi, hampir setiap kampus pasti mengatakan itu salah satu sumber pendanaan,” lanjut Herdiansyah atau kerap disapa Castro itu.
Yah, pada akhirnya kita harus "ngenes lagi".
Kalau guru sering disebut juga orang yang digugu dan ditiru.
Kalau rektor?
PS: Tak semua rektor adalah Karomani, karena Karomani hanya satu. Kalau dia ada dua, berarti Karomani bisa Kagebushin no jutsu.
Ditulis oleh Anjas Pratama, jurnalis di Kaltim
(redaksi)