POJOKNEGERI.COM - Penanganan Covid-19 di Kaltim belum terasa hasilnya. Pembatasan jam operasional UMKM (Usaha Mikro Kecil Menegah), penyekatan jalan, hingga work from home (WFH) sudah dilakukan.
Bahkan di 3 daerah, diberlakukan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat. Tiga daerah itu adalah Balikpapan, Berau dan Bontang.
Apa hasil? Tim redaksi mendata, sejak PPKM mulai digulirkan di Kaltim, angka Covid-19 justru tak membaik. Sejak 5 Juli hingga 20 Juli, Covid-19 justru makin meninggi.
Di tengah kondisi itu, pesan tak biasa malah datang dari orang nomor 1 di Kaltim, Isran Noor. Ia sampaikan, selain tetap mengkonsumsi makan dan minum yang sehat, mantan Bupati Kutai Timur itu juga berpesan agar warga Kaltim banyak bercanda.
"Jika perlu perbanyak bercanda dengan siapa saja, tanpa mengabaikan sikap tenang dan waspada, serta tidak lengah protokol kesehatan," ungkap Isran Noor, beberapa waktu lalu.
Terlebih kondisi saat ini, di mana varian Covid-19 bermunculan dengan daya tular lebih tinggi. Menjaga imun tubuh tetap kuat diperlukan oleh seluruh warga.
"Tetap happy atau perbanyak saja melucu, sebab bisa menambah imun tubuh," ujarnya, dikutip dari rilis resmi Pemprov Kaltim.
"Saya dengan Wagub banyak-banyak saja melucu. Agar imun tubuh tetap kuat dan semangat. Kita berdoa, semoga wabah ini segera berakhir. Ikhtiar tetap kita lakukan bersama," katanya.
Hal inipun dinilai tak lazim disampaikan oleh seorang kepala daerah yang saat ini daerahnya sedang berjuang keras mengatasi Covid-19. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Ely Hartati Rasyid beri peringatan keras kepada Pemerintah Provinsi Kaltim atas lambannya penanganan korban terpapar virus Covid-19.
Menurutnya, dalam kondisi lonjakan kasus konfirmasi seperti sekarang ini perlu kehadiran pemangku kebijakan dalam hal ini Gubernur Kaltim untuk memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan-permasalahan ini.
"Ini harus ada pernyataan dari Gubernur (Isran Noor) sendiri. Ini waktunya Gubernur bertindak, bukan waktunya guyon-guyon lagi," ujar Ely sapaanya saat diwawancara awak media melalui telepon WhatsApp, Senin (19/7/2021).
Penanganan Covid-19, kata Ely, memang membutuhkan kepiawaian dan strategi agar wabah ini bisa teratasi dengan cepat. Minimal menekan angka konfirmasi positif.
"Pemerintah itu gak ada kudengar selain surat edaran. Langkah konkritnya gak ada," tegasnya.
Politisi PDI Perjuangan dapil Kukar ini juga mengkritisi kerja-kerja Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim. Pada kesempatan rapat pendapat disampaikan Kepala Dinas Kesehatan dr Padilah Mante Runa mengatakan bahwa pihaknya telah bekerjasama denga pihak Fakultas Kedokteran Unmul untuk menambal kebocoran tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19. Namun realisasi atas rencana tersebut nihil.
"Ayok cepat, katanya Dinkes sudah kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Unmul rekrutmen tenaga kesehatan. Minimal mereka tahu cara menangani pasien. Gak bisa kita karena nakes kita terpapar kemudian kita gak ngapa-ngapain. Mati kita semua," ujarnya.
Yang terjadi di lapangan
Tak ingin hanya dapatkan data komentar pejabat atau press release, tim redaksi turun ke lapangan. Memastikan bagaimana penanganan Covid-19 terjadi di akar rumput.
Hasilnya, kebingungan terjadi di beberapa sektor. Medis misalnya, beberapa rumah sakit bahkan tak lagi menerima pasien baru untuk Covid-19. Penyebabnya, kapasitas rumah sakit yang tak mencukupi.
Salah satunya, RSUD AW Sjahranie, rumah sakit plat merah, yang seyogyanya menjadi rs rujukan nasional untuk Covid-19.
Dari penelusuran media ini, saat bertandang ke RSUD AW Sjahranie, terlihat banyak terpasang spanduk menolak pasien baru. Tepat di depan gerbang utama RS, terlihat spanduk itu terpasang, sembari dijaga oleh tiga sekuriti yang bertugas.
Namun demikian, pengunjung maupun pelayanan umum masih tetap beroprasi. Di depan gedung IGD, terpantau tak sampai sepuluh orang yang menunggu pelayanan maupun menunggu sanak keluarga mereka yang sedang menjalani pelayanan kesehatan. Parkiran pun tampak renggang. Tak banyak kendaraan roda dua maupun empat yang terparkir. Bahkan mobil ambulans pun tak nampak hilir mudik.
Sementara itu, dari sisi belakang, pintu masuk lainnya, media ini berjumpa dengan seorang sekuriti berinisial SM yang tengah bertugas.
Pria berperawakan tambun ini dengan ramah menyapa, dan menanyakan keperluan para pengunjung yang datang.
"Mau ke mana mas? Kalau jenguk boleh saja tapi yang jaga (keluarga) di dalam harus keluar, bawa kartu jaganya. Biar gantian dan biar enggak numpuk yang jaga di dalam ruangan," tutur SM.
Kepada media ini, SM dengan tegas mengatakan jika penerimaan pasien baru (Covid-19) dengan berat hati harus ditolak. Sebab kondisi pelayanan belum memungkinkan.
"Di sini sudah enggak bisa lagi (terima pasien Covid-19), karena kondisi di sini," ujar SM.
"Di sini juga banyak yang kena. Percaya enggak percaya memang begitu. Nakes saja sudah berapa banyak. Belum dokter. Bahkan sekuriti beberapa juga ada yang kena (Covid-19)," katanya lagi.
Tak hanya itu, SM pula bercerita jika kondisi pada siang hingga sore ini di ruang mayat masih terdapat 11 jenazah pasien Covid-19 yang menunggu untuk dikebumikan.
"Palingan malam nanti itu dikuburkan. Kemarin saja ada 15 jenazah. Pokoknya beberapa hari ini selalu banyak. Selalu di atas 10 jenazah setiap harinya," ulasnya.
Hingga saat ini, SM menuturukan sedikitnya ada enam ruangan di RSUD AW Sjahranie yang telah digunakan untuk merawat pasien Covid-19. Bahkan dalam waktu dekat, satu ruangan lainnya, yakni Ruangan Teratai akan difungsikan sebagai ruang tambah baru pasien Covid-19.
Tak hanya itu, cerita pilu juga muncul di lapangan. Pada Jumat (16/7/2021), sekira pukul 21.00 Wita seorang pria berinisial TH (48) menghembuskan nafas terakhirnya di dalam mobil ambulans sebab tak mendapatkan perawatan rumah sakit.
Diceritakan Nanang Arifin, Ketua Relawan Papadaan pada hari kejadian sekira pukul 18.30 Wita dirinya mendapatkan telepon dari layanan call center 112 untuk bantu melakukan evakuasi kepada TH yang tinggal seorang diri di rumah kontrakan, Gang 10, RT 10, Jalan Lambung Mangkurat, Kelurahan Pelita, Kecamatan Samarinda Ilir.
"Kenapa kami melakukan evakuasi, karena saat itu petugas 112 sedang menangani pasien covid (Covid-19) lainnya. Dan kebetulan juga, almarhum ini tinggal satu lingkungan sama kami," tutur Nanang bercerita.
Berbekal informasi, jika TH mengalami keluhan kesehatan seperti demam, sakit kepala dan pilek Relawan Papadan yang berjumlah tiga orang kala itu melengkapi diri dengan mengenakan pakaian hazmat.
"Gejala keluhan ini kan mengarah ke dugaan itu (Covid-19) dan kami antisipasi jadi pakai APD (alat pelindung diri) lengkap," kata Nanang.
Selain itu, lanjut Nanang, ia juga mendapatkan informasi dari warga sekitar jika TH sejak lima hari terakhir telah melakukan isolasi mandiri (isoman) di kediamannya. Akhirnya, sekitar pukul 18.30 Wita kami melakukan perjalanan menuju rumah sakit umum (RSUD AW Sjahranie)," jelasnya.
Setibanya di RSUD AW Sjahranie, Nanang beserta dua rekannya terkejut sebab pihak sekuriti rumah sakit berplat merah itu dengan tegas menolak kedatangan mereka, sebab ruangan perawatan sedang penuh. Tak pasrah begitu saja, Nanang coba meminta agar sekuriti lebih dulu mengkomunikasikan ke atasannya. Lantaran kondisi TH yang sudah dalam keadaan kritis dan tak lagi bisa menunda perawatan medis.
"Sekuriti itu sempat telpon gitu di dalam. Kemudian dia keluar lagi dan bilang di sini sudah penuh silahkan ke rumah sakit lainnya," lanjutnya. Mendengar hal tersebut, Nanang bersama dua rekannya langsung bergegas menyalakan mesin kendaraan roda empatnya dan langsung menuju Rumah Sakit SMC.
Namun setibanya di rumah sakit kedua ini, sekira pukul 19.20 Wita Nanang kembali mendapat penolakan serupa dari sekuriti setempat.
"Di SMC juga ditolak, katanya karena ruangan penuh dan obat-obatan sudah habis," sebutnya.
Tak putus asa, Nanang bersama dua rekannya kembali tancap gas dan bergegas menuju RSUD IA Moeis yang berlokasi cukup jauh dari RS SMC. Di rumah sakit ketiga ini, Nanang kembali mendapat penolakan dengan alasan serupa. Melihat kondisi TH yang semakin kritis dan nafas yang tersengal-sengal, Nanang lantas meminta seorang anggotanya kembali memasuki ruangan RSUD IA Moeis untuk meminta bantuan pertama berupa suplai tabung oksigen.
"Dikatakan habis oksigen, saya kaget. Apalagi melihat almarhum semakin kritis. Karena evakuasi ini berdasarkan rujukan 112, akhirnya kami minta petugas rumah sakit untuk lakukan pemeriksaan lebih lanjut," kata Nanang. "Terus datang dua orang petugas rumah sakit ke ambulans kami. Mereka pasang alat gitu, dan dinyatakan almarhum sudah meninggal saat itu," kata Nanang lagi.
Untuk pemulasaran saja, masyarakat bisa kesusahan
Pelayanan di sektor kesehatan pun juga tak bisa menghandle semua. Publik kembali dibingungkan dengan adanya rumah sakit yang tak menerima proses pemulasaran jenazah Covid-19 yang sebelumnya lalui proses isolasi mandiri. Diketahui, beredar sebuah foto di media sosial, yang memperlihatkan manajemen RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda memasang spanduk menolak pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 dari luar rumah sakit.
Spanduk pemberitahuan itu terpasang tepat di depan ruang jenazah di RSUD AWS Samarinda.
"Mohon maaf sementara kamar jenazah tidak menerima pulasara dari luar RSUD AWS," isi tulisan spanduk dalam foto tersebut.
dr David Hariadi Masjhoer, Direktur RSUD AWS Samarinda menyebut pihaknya telah banyak menerima pasien isolasi mandiri meninggal di rumah. Hal itu dianggap menambah beban petugas di RSUD AWS.
"Saat ini banyak yang meninggal isoman di rumah dikirim ke RSUD AWS. Ini menambah beban petugas kami," kata dr David, dihubungi Selasa (20/7/2021).
Direktur RSUD AWS Samarinda mengungkap pihaknya pernah melakukan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 hingga 17 jenazah dalam sehari. Akibatnya petugas pemulasaraan di RSUD AWS menyerah lantaran kelelahan.
"Yang terbanyak 17 jenazah pernah dilakukan sehari. Setelah itu petugas menyerah kelelahan, jadi ditunda besoknya," jelasnya.
Sebenarnya rumah sakit pelat merah tersebut memang tidak memasang target berapa jumlah maksimal jenazah yang bisa dipulasara. Hanya saja pihak RS terkendala keterbatasan petugas.
"Tidak ada target jumlah. Jumlah petugas saya kurang hafal, sekitar 11 orang," sambungnya.
Tidak ingin dianggap menelantarkan jenazah pasien Covid-19, pihaknya telah menyiapkan pendampingan pelatihan pemulasaraan kepada relawan di tiap kecamatan.
"Kami sudah melakukan pendampingan pelatihan pemulasaran jenazah Covid-19 di kecamatan-kecamatan, yang diadakan Pemkot Samarinda," paparnya.
Namun, pihak RSUD AWS tidak menyiapkan tim khusus untuk melakukan pemulasaraan jenazah isoman. Hal itu akan menjadi kewenangan dari Pemkot Samarinda.
"Untuk yang meninggal isoman di rumah itu wewenang pemkot. Kami tidak menyiapkan tim khusus," ujarnya.
Sementara itu, Muhammad Samsun, Wakil Ketua DPRD Kaltim, menyayangkan kebijakan RSUD AWS Samarinda, tidak menerima pemulasaran dari jenazah pasien isolasi mandiri.
"Gak boleh mereka itu. Memang berapa banyak sih pasien yang meninggal di AWS setiap harinya. Mau bagaimana lagi kalau itu memang tugasnya rumah sakit mestinya dijalankan," ungkap Samsun.
Menurutnya jika pihak rumah sakit tidak sanggup mengemban tugas pemulasaraan bisa dikerjasamakan dengan lembaga maupun LSM yang bisa bergerak ke pemulasaraan jenazah. Itu pun perlu dilakukan edukasi mendalam.
Pasalnya kalau bukan nakes siapa lagi yang paham protokol kesehatan,
"Ada banyak, seperti PMI ada lembaga-lembaga sosial, rukun kematian," jelasnya. Hanya saja menurut Samsun, tempat pemulasaraan mesti tersentral. Pilihan terbaik saat ini adalah di rumah sakit. "Memang tempatnya harus tersentral. Kalau memang harus di rumah sakit ya di rumah sakit untuk pemulasaraannya," tegasnya.
Jangan sampai dengan masih minimnya edukasi ke masyarakat terkait protokol pemuladaraan jenazah Covid-19, warga mengurus jenazah sendiri. Menurut politisi PDIP Kaltim ini hal tersebut justru berbahaya bagi masyarakat.
"Jangan sampai jenazah dibiarkan begitu saja, kemudian dirawat tidak sesuai prokes ini justru berbahaya," imbuhnya. "Kita punya kok cadangan orang-orang baik, yang mau bekerja sosial untuk hal itu," katanya.
Langkah pemerintah
Di ujung PPKM, Pemprov Kaltim, pun mulai bergerak. Dikutip dari Instagram resmi Pemprov, pada Rabu (21/7/2021) Gubernur Kaltim Isran Noor menerbitkan 2 Intruksi Gubernur (Ingub) dan 1 keputusan.
Kepala Biro Humas Setda Prov Kaltim M Syafranuddin, menerangkan Ingub pertama yang diterbitkan yakni Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Ingub Nomor 15 Tahun 2021.
“Ingub Nomor 16 Tahun 2021 selain memperpanjang waktu Ingub Nomor 15 Tahun 2021 juga menambah beberapa item baru yang menjadi pedoman kabupaten dan kota,” terang Syafranuddin seraya menambahkan masa berlaku Ingub Nomor 16 Tahun 2021 hingga tanggal 25 Juli 2021.
Sementara Ingub Nomor 17 Tahun 2021, lanjut Syafranuddin, terkait penunjukan Rumah Sakit Khusus (RSK) Pelayanan Covid 19 di Kaltim. Pada Ingub Nomor 17 Tahun 2021 juga ditujukan kepada kepala daerah serta direktur semua rumah sakit karena isinya petunjuk teknis dalam mengantisipasi terjadinya lonjakan kasus terkonfirmasi Covid-19 yang memerlukan pelayanan rujukan.
“Khusus RSU milik Pemprov Kaltim seperti RSU AW Syahrani Samarinda, diminta menambah ruang ICU dan ruang isolasi dengan mengkonversi ruang perawatan yang minimal tiga puluh persen dari tempat tidur yang ada,” jelasnya.
Akan tetapi, di lapangan, pihak-pihak di bawah terkesan tak 100 persen ikuti Ingub itu.
Soal RS Khusus Penanganan Covid-19 misalnya.
dr Padilah Mante Runa, Kepala Dinas Kesehatan Kaltim, jelaskan bahwa rencana tersebut masih akan dikaji dan dipersiapkan.
Dirinya menjelaskan berbagai kendala dialami jika penunjukan RS khusus Covid-19 diaplikasikan. Ia lalu mencontohkan kendala yang dialami di Samarinda.
"Sebenarnya RSUD IA Moeis ingin disiapkan menjadi RS rujukan Covid-19. Hanya saja tidak memenuhi syarat, karena ada beberapa bagian gedung yang retak," kata dr Padilah, Rabu (21/7/2021).
Selanjutnya yang direncanakan menjadi RS khusus rujukan Covid-19 adalah RSUD AWS Samarinda. Menurut dr Padilah, hal itu tak bisa dilakukan lantaran RSUD AWS menjadi rumah sakit rujukan nasional.
Cara terbaik untuk memaksimalkan perawatan pasien Covid-19, dengan seluruh RS di Samarinda membuat konversi besar-besaran lebih dari 40 persen. Ada yang 50 persen maupun ada yang 60 persen.
"Jangan sampai nanti tumpuan perawatan pasien Covid-19 hanya di RS khusus. Nanti tumpuannya ke sana, jadinya nanti kewalahan. Nanti rumah sakit lain tidak mau menerima pasien Covid-19 karena ada RS terpusat," jelasnya.
"Jangan saling mengharap, nanti jadi kolaps di sana(RS khusus Covid-19)," sambungnya.
Untuk itu, dr Padilah menekankan lebih baik seluruh RS, baik RS pemerintah maupun swasta menambau tempat tidurnya. "Sebaiknya dikonversi besar-besaran di seluruh rumah sakit. Akhirnya melebihi dari kapasitas yang diperlukan. Daripada menunjuk RS khusus tapi kapasitasnya kecil," ujarnya.
Di pihak RS plat merah juga demikian. Penambahan kapasitas bed dan kamar untuk kasus Covid-19 juga urung dilakukan. dr David Hariadi Masjhoer, Direktur RSUD AWS Samarinda menegaskan jika pelaksanaan penambahan 40 tempat tidur khusus pasien Covid-19 sedang dilakukan sesegera mungkin. Sedang dilakukan, berarti belum selesai.
"Sesegera mungkin. Bila peralatan bisa disediakan distributor dan bila tenaga mencukupi," terang dr David melalui pesan singkatnya, Rabu (21/7/2021) sore tadi.
Disinggung mengenai ketersediaan alat dan tenaga yang dimaksud, dr David menegaskan jika kedua hal tersebut yang menjadi kendala pengadaan tempat tidur pasien Covid-19.
"Ya kendalanya di tenaga dan peralatan," singkatnya.
Ditanya lebih jauh, dr David rupanya engga membeber perihal kendala tersebut. Yang jelas menurut dia, peralatan yang menjadi kendala seperti pendukung alat medis termasuk regulator oksigen.
"Enggak bisa saya rincikan satu-persatu. Maksudnya peralatan itu, seperti pendukung medis termasuk regulator oksigen," tandasnya.
Soal instruksi gubernur ini pun dikomentari Herdiansyah Hamzah, Dosen Universitas Mulawarman Samarinda.
“Yang namanya instruksi, pasti ditujukan ke bawahan. Menteri buat instruksi ke gubernur dan bupati/walikota se-indonesia, gubernur buat instruksi ke bupati/walikota, terus walikota instruksi ke OPD, camat, dan lurah. Cara gampangnya begitu. Bupati/Walikota sebagai benteng terakhir dalam sisi kewenangan, sah saja buat instruksi ke bawahannya (OPD, camat, dan lurah). Tapi instruksi itu tidak cukup, apalagi sifatnya memang ditujukan ke bawahan. Harusnya Bupati/Walikota membuat surat keputusan agar legitimasi hukum terhadap kebijakan penanganan pandemi Covid-19 ini jauh lebih kuat,” katanya.
Saat ini, warga Kaltim terus berharap agar pandemi Covid-19 bisa segera berakhir. Pelaku UMKM berdoa agar bisa kembali membuka dagangannya, tanpa harus takut diusir Satpol PP jika lokasinya ramai.
Penjual tahu tek berangan-angan kapan bisa membuka dagangan hingga bisa buka pukul 01.00 dini hari.
Para nakes pun mungkin sedang berpikir, kapan bisa punya waktu luang untuk bisa menikmati kopi bersama keluarga tanpa diganggu beban kerja yang berat.
Dan, mereka semua sama sekali tidak bercanda dengan keinginan itu. (redaksi)