POJOKNEGERI.COM - Kelangkaan minyak goreng masih terjadi. Apakah ini persoalan hukum permintaan atau penawaran (supplay demand) atau kartelisasi?
Sebuah pertanyaan menggelitik. Sebelum masuk ke situ, kita masuk dulu ke persoalan hulunya, yaitu crude palm oil (CPO) yang merupakan bahan baku bagi banyak turunan produknya.
Ada nabati yang menjadi bahan baku minyak goreng, margarin, krim dan lainnya. Kemudian jika CPO menjadi FAME (Fatty Acid Methyl Ester) itu bahan biodiesel. Diolah menjadi Asam Laurat maka untuk bahan baku aneka kosmetik dan sabun. Jadi Oleokimia jadi bahan baku deterjen dan pelumas.
Sesuai dengan Permendag, pengusaha-pengusaha sawit dibebankan pula memiliki pabrik pengolahan yang dikenal dengan istilah PKS (pabrik dan kebun kelapa sawit). Selain CPO, output dari sawit ini adalah palm kernel oil (PKO).
Dari gambaran singkat ini, maka setidaknya kita tahu bahwa CPO itu industri hulu, sedangkan minyak goreng industri hilir, sedikit ada sambungannya.
Benang merah itu agak terputus-putus ketika masuk ke pabrik minyak goreng, keduanya adalah hal yang berbeda. Atau begini, kelangkaan minyak goreng disebabkan karena industri hulunya atau industri hilirnya.
Temuan Ombudsman
Sebelum lebih jauh, kita lihat dulu temuan Ombudsman. Ini menarik, dalam laporannya, Ombudsman merilis, hampir 89 persen retail tradisional menjual minyak goreng di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Setidaknya ada tiga masalah utama yang disorot sebagai penyimpangan transaksional, di hampir semua provinsi di Indonesia.
Beberapa daerah yang ditelisik Ombudsman berada di Sumatera Utara, Jambi, Bangka Beliting, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara dan Papua.
Pertama kelangkaan minyak goreng terjadi akibat pembatasan stok yang diberikan distributor kepada ritel tradisional, di luar ritel modern. Distributor membatasi pasokan ke agen, dan agen mau gak mau membatasi juga pasokannya ke ritel tradisional.
Banyak distributor minyak goreng memilih menjualnya kepada pihak industri, dengan alasan kalangan industri mampu membelinya dengan harga lebih tinggi, dibanding mereka menjualnya ke masyarakat umum yang pastinya harus sesuai HET.
Temuan kedua, Ombudsman menemukan adanya penyusupan ritel modern ke pasar tradisional.
Maksudnya, banyak pedagang tradisional membeli minyak goreng bukan dari distributor langsung atau agen, melainkan dari ritel modern. Kondisi ini yang membuat harga minyak goreng naik tajam ketika sampai ke konsumen pasar tradisional, artinya harga jual di atas HET.
Yang lebih mengerikan adalah banyak ritel modern menerapkan bundling, alias konsumen mengharuskan membeli barang lain jika ingin membeli minyak goreng.
Menurut Ombudsman ini motif mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan kelangkaan.
Kendati pabrik minyak goreng banyak, tetapi bukan rahasia umum lagi siapa-siapa konglomerasi bisnis minyak goreng, tak lain adalah mereka yang juga pemilik PKS. Berarti pabrik minyak goreng (mayoritas) justru bisa dikendalikan oleh pemilik PKS (minoritas).
Masih ingat ketika Ombudsman mengaitkan temuan polisi yang menemukan dugaan penimbunan minyak goreng sebanyak 80.000 karton di Sumatera Utara. Menurut Ombudsman itu bukan penimbunan, sebab selang beberapa waktu, PT Salim Ivomas Pratama (Salim Group) langsung menggelar konferensi pers, yang membantah pernyataan Kapolda Sumatera Utara. Disinyalir tumpukan minyak goreng 80.000 karton itu adalah pesanan.
Kembali ke sawit? Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) membeberkan data produksi minyak sawit nasional per akhir tahun lalu (2021), produksi nasional minyak sawit sebesar 51,95 juta kilo liter, terdiri dari 47,47 kilo liter CPO dan 4,48 juga kilo liter PKO. Artinya CPO 91 persen dari total produksi nasional minyak sawit.
Untuk total konsumsi dalam negeri sebanyak 18,17 juta kilo liter, di dalamnya termasuk alokasi program B-30. Konsumsi CPO mencapai 91 persen dari 18,17 juta kilo liter, sama dengan 16,5 juta kilo liter CPO.
Apakah kelangkaan minyak goreng akibat suplai-demand, atau ulah para kartel? Silahkan Anda menilainya.
Stop ekspor CPO
Ada yang menarik dari pengamatan George Kuahaty, Direktur Lembaga Riset dan Penelitian Indonesia (Rispenindo).
Secara terang-terangan ia menyarankan kepada pemerintah untuk sementara menyetop ekspor CPO. Pelarangan ekspor CPO tersebut dimaksudkan agar stok kebutuhan nasional terhadap minyak goreng dapat dikendalikan.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan bisa mencabut terlebih dulu Permendag No. 2 Tahun 2002, dimana di dalamnya tidak melarang ekspor CPO. Permendag yang dimaksudkan katanya untuk pengendalian melalui prosedur pencatatan ekspor, ternyata tidak berjalan dengan baik. Dan Permendag itu untuk menangani krisis minyak goreng, ternyata tidak.
Menurut George, kondisi ini berbeda ketika Indonesia mengalami krisis batubara, pemerintah berani mengambil langkah mengeluarkan larangan ekspor selama sebulan, sampai akhir Januari 2022. Kebijakan layaknya pelarangan ekspor batubara itu, sebenarnya bisa dipakai juga dalam menangani kelangkaan minyak goreng.
“Program Biodiesel B-20, B-30, B-40 sebagaimana dikemukakan banyak pengamat sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng, tidak beralasan. Apakah alokasi CPO yang diperuntukkan bagi minyak goreng kemudian dikorbankan, hanya karena nafsu ingin mendapat keuntungan besar dari ekspor?”
“Baik batubara maupun minyak goreng, sama-sama kaitannya dengan hajat hidup orang banyak, tetapi dalam penanganan krisisnya beda. Batubara pernah dilarang ekspor selama sebulan, sementara untuk CPO tidak.”
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)