Raymundus menilai, akibat adanya perjanjian tersebut, Presiden Joko Widodo atau Jokowi, merasa kehilangan perannya sebagai salah satu pentolan PDIP, terlebih saat ini ia masih menjabat sebagai orang nomor 1 di republik ini.
"Perjanjian atau kesepakatan ini yang kemudian membuat Presiden Jokowi merasa kehilangan peran atau perannya semakin kecil," ungkap Raymundus.
Lanjut Raymundus menjelaskan, jika menarik ke belakang sebelum diumumkannya Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDIP, terdapat diskusi antara elite partai, yang tidak dihadiri Presiden Jokowi.
Pasalnya, Presiden Jokowi baru tiba di Istana Batu Tulis, beberapa jam sebelum nama Ganjar keluar sebagai capres PDIP.
"Pada malam di 20 April setelah buka puasa, ada semacam diskusi antara Ibu Mega, Ganjar, Mas Hasto sebagai sekjen dan Mas Nanda (Prananda Prabowo). Prosesnya ada di situ," jelasnya.
Dengan kata lain, baik Megawati maupun Presiden Jokowi sama-sama ingin mengambil peran penuh terkait penetapan capres dan cawapres.
Bahkan, keduanya dinilai tidak hanya ingin mengambil peran pada penentuan capres dan cawapres saja, melainkan juga ingin memiliki peran penuh pada saat sesudah Pilpres 2024.
"Mereka ingin terlibat atau mengambil peran penuh dalam penentuan capres dan cawapres, serta sesudahnya ketika nantinya pasangan yang dijagokan PDIP terpilih dalam Pemilu 2024," kata Raymundus.