“tidak melakukan aktivitas komersial apa pun” di wilayah Adat Long Isun dan bahwa “area tersebut ditandai sebagai zona terlarang untuk menghindari potensi eskalasi sengketa lahan yang ada”.
Pernyataan dari (Martha Doq/Direktur Eksekutif Perkumpulan Nurani Perempuan):
“Kami menyambut baik keputusan Harita Group untuk menghindari penebangan hutan di wilayah Long Isun, namun ini baru permulaan. Kami akan terus bekerja sama dengan masyarakat Long Isun untuk memastikan bahwa komitmen ini dihormati dan tidak ada lagi eksploitasi lebih lanjut atau upaya bisnis lainnya atas tanah mereka. Keberlanjutan yang nyata hanya mungkin terjadi ketika hak-hak masyarakat adat dilindungi dan masyarakat Long Isun mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas wilayah dan hutan adat mereka.”
Pengumuman ini merupakan berita baik bagi masyarakat Long Isun, yang secara konsisten menuntut pengakuan atas hak-hak tanah adat mereka. Sayangnya, pernyataan tersebut tidak diikuti dengan upaya perusahaan untuk mengeluarkan wilayah Long Isun dari izin konsesinya. Harita Group mengklaim bahwa hal tersebut “berada di luar cakupan PT. KBT dan PT. RMTK yang secara hukum dan operasional dapat menimbulkan konsekuensi negatif.”
Pada kenyataannya pemerintah Indonesia memang merupakan otoritas tertinggi dalam memberikan amandemen terhadap izin usaha apa pun, namun pemegang izin tetap dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengurangi area konsesinya sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Indonesia No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Jika perusahaan serius untuk menghentikan semua operasi bisnis di wilayah adat Long Isun dan mendukung upaya masyarakat menuju pengakuan hukum atas hutan adat mereka, memulai proses hukum ini akan menjadi sangat penting dan dapat mendukung percepatan pengakuan hukum masyarakat.
Pernyataan dari (Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim):