POJOKNEGERI.COM - Update kasus aborsi yang dilakukan mahasiswi di Samarinda
Diberitakan sebelumnya, kasus aborsi dilakukan perempuan muda berinisial NA (25) di kamar indekosnya, Jalan Wolter Monginsidi, Gang 2, RT 22, Kecamatan Samarinda Ulu, Rabu (22/9/2021) sore.
Perilaku mahasiswi semester akhir di salah satu universitas swasta ini dianggap sangat tidak lazim. Lantaran mengubur sang jabang bayi dalam pot plastik dan disimpan di kamar indekosnya.
Hal ini turut direspon pula oleh kalangan profesional.
"Masa iya tidak ada rasa empatinya seorang ibu apalagi ini sudah wujuh manusia. Kalau dugaan gangguan jiwa berat sepertinya tidak, karena sang ibu masih bisa ke rumah sakit dengan kesadarannya sendiri. Dan dari kepolisian harusnya tetap diarahkan ke pemeriksaan kejiwaan si ibu tersebut," tutur Psikolog ternama Kota Tepian, Ayunda Ramadhani, Jumat (24/9/2021), saat dikonfirmasi tim redaksi pojoknegeri.com.
Kata Psikolog yang lama bekerja di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Atma Husada ini, jika menelaah lebih jauh dari pengakuan dan fakta yang ditemukan kepolisian dari kasus aborsi tersebut ada perbedaan yang cukup unik menurut Ayunda.
Maka demikian, pendalaman sisi kejiwaan harus dilakukan.
"Karena ada gap antara pengakuan si ibu dan fakta yang ditemukan. Kalau alasan yang disebutkan tidak direstui karena beda agama dan lainnya ini juga menjadi pertanyaan kenapa kandungannya itu dipertahankan sekian lama. Pertanyaan ini harus digali lebih dalam tentunya," imbuhnya.
Lanjut Ayunda, bisa saja dahulunya si NA pernah melakukan upaya aborsi saat kandungan masih dini, namun selalu gagal.
Hal ini tentu tidak menutup kemungkinan menjawab pertanyaan kenapa kandungan dipertahankan begitu lama.
Kemudian kondisi bayi aborsi yang dimasukan ke dalam pot ini menimbulkan pertanyaan besar bagi Ayunda. Karena sejatinya seorang ibu memiliki perilaku melindungi.
"Dan sejatinya seorang ibu juga mempunyai fungsi hearing, dan ini kenapa begitu. Apakah depresi karena diduga si ibu coba melakukan aborsi dari dulu tapi selalu gagal hingga akhirnya ia merasa tertekan. Jadi indikasi gangguan kejiawaannya juga harus diperiksa," tambahnya.
Jika nantinya dari pemeriksaan ditemukan jika si ibu dalam keadaan depresi, maka saran Ayunda akan lebih bijak nantinya jika kepolisian terlebih dulu melakukan perawatan.
Kondisi depresi juga menurut Ayunda bisa menjadi dasar terjadinya perilaku menyimpang tersebut. Dalam ilmu kejiwaannya, depresi dikatakan Ayunda menjadi dua golongan.
Yakni depresi postpartum, yang mana kondisi ini adalah depresi pasca melahirkan dengan keadaan tertekan lantaran tidak ada suami, sehingga suasana hatinya kacau murung dan merasa tidak berdaya.
"Kasus yang lebih parah bahkan bisa menyebabkan kondisi psikotic postpartum yang bisa memicu perilaku agresif seorang ibu untuk membunuh anaknya atau si ibu melakukan tindakan bunuh diri. Jadi depresinya itu terlebih dulu harus dipulihkan dan dirawat. Karena logikanya kalau orang sakit tidak diobati dan ditahan malah justru jadi lebih sakit nantinya kan," tegasnya.
Dari pemeriksaan kejiwaan itu juga nantinya, menurut Ayunda bisa menjadi konsen aparat penegakan hukum untuk mengungkap motif, kenapa si pelaku aborsi bisa memperlakukan jenazah bayinya sedemikian sadis.
"Ini sudah di luar kelaziman. Ini tidak masuk dalam perilaku normal. Ini sudah upnormal karena perilakunya tidak sama dengan kebanyakan ibu pada umumnya. Makanya ini perlu pemeriksaan medis kejiwaannya," katanya.
(redaksi)