Apabila penanganan perkara dilakukan berdasarkan atas pesanan, kata dia, maka unsur terpenting dalam penanganan perkara, yaitu objektivitas, akan menghilang. Akibatnya, adanya perlakuan yang tidak adil dalam penanganan perkara.
“Satu kasus yang masih sangat jauh pembuktiannya seperti terburu-buru dan berpura-pura tegas secara terus menerus didengung-dengungkan oleh Firli Bahuri untuk di tindaklanjuti oleh KPK, sedangkan kasus yang sudah jelas-jelas terbukti dan sudah berkali-kali diajukan sprindik pengembangan perkaranya dibiarkan terbengkalai,” kata Mochamad.
Ia mengatakan, itu semua tidak bisa dilepaskan dari motif adanya keterkaitan partai dan aktor politik tertentu. Ia mencontohkan korupsi bansos yang tidak adanya tindak lanjut, padahal buktinya sudah terang-benderang untuk ditindaklanjuti.
Kedua, lanjut Mochamad, bila hal ini terus dibiarkan KPK akan menjadi alat manuver politik yang sangat berbahaya. KPK dengan segala kewenangan dan perangkatnya dapat digunakan untuk mengkriminalisasi dan menyandera para pimpinan partai politik untuk kepentingan 2024, dan ini merupakan kiamat demokrasi bagi Indonesia. “KPK dijadikan alat menggebuk lawan politik,” ujar dia.
Kemudian yang ketiga, KPK bisa dijadikan alat untuk motif pribadi. Mochamad mengatakan ini bisa dihubungkan dengan kegenitan Firli selama ini yang menunjukan keinginan untuk turut dalam kontestasi politik 2024, baik melalui baliho maupun penggunaan sarana KPK sebagai kampanye. Ia menilai penggunaan kasus lawan politik akan menguntungkan pribadi dan jelas-jelas melanggar kode etik yang menekankan larangan menggunakan KPK sebagai alat mendapatkan keuntungan pribadi.
“Untuk itu kami dari IM57+ Institute berharap Firli Bahuri sekalian saja menyegerakan untuk deklarasi sebagai capres, sehingga semua menjadi jelas dan terang. Di sisi lain, Dewas KPK harus menjalankan fungsi secara jelas dalam menghindari penyalahgunaan KPK,” ujarnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)