Dari imamat atau kepemimpinan di Yerusalem menjadi komunitas rabi dan cendekiawan yang menyebar.
Artinya dari yang mulanya di kuil menjadi ruang belajar agama yang lebih luas.
Dengan tidak adanya tempat ibadah, orang-orang Yahudi berusaha menciptakan alternatif lain.
Di tengah kesulitan itu, bangsa Yahudi tetap membaca dan mempelajari Taurat.
Untuk menjamin tradisi ini terus berlangsung, setiap laki-laki bertugas membekali anaknya sejak dini dengan kemampuan membaca dan menulis.
Namun, mereka menghadapi masalah lain.
Untuk menanamkan melek huruf dan mengajarkan Taurat perlu biaya tinggi.
Sementara itu, banyak masyarakat Yahudi berprofesi sebagai petani dan hidup miskin, demikian dikutip Haaretz.
Di masa itu, banyak orang Yahudi yang dilema: menanggung beban finansial dan pendidikan dengan berpegang teguh pada Yudaisme atau meninggalkan ajaran ini dengan demikian bisa mengurangi pengeluaran untuk literasi.
Bagi orang Yahudi yang dianggap memiliki tradisi beragama yang lemah tergoda memilih alternatif yang lebih mudah.
Dengan kata lain, sebagian orang Yahudi akan berasimilasi dan menyebabkan penyusutan populasi komunitas ini.
Kemudian pada pertengahan abad ke-7 atau sekitar 660 M, terjadi perjumpaan bersejarah antara orang Yahudi dan Islam.
Di masa ini, Dinasti Umayyah menguasai semenanjung Iberia hingga China.
Dinasti Umayyah menciptakan bahasa dominan yakni Arab, lembaga, dan hukum baru. Seiring berjalannya, waktu kerajaan semakin berkembang.
Mereka mendirikan kota-kota baru dan memperluas industri serta perdagangan.
Gelombang globalisasi dan urbanisasi itu kemudian memicu peningkatan permintaan tenaga profesional dengan keterampilan intelektual.
Pengaruh perubahan tersebut sangat signifikan bagi orang Yahudi.
Kemudian sekitar 750 M, Dinasti Umayyah runtuh dan diganti Dinasi Abasiyyah.
Di periode 750 hingga 900 M, hampir semua orang Yahudi di Mesopotamia dan Persia meninggalkan pertanian.