POJOKNEGERI.COM - Anda masih ingat berita-berita tentang satwa-satwa liar yang kemudian masuk ke perkampungan warga?
Ada harimau memangsa ayam dan kambing peliharaan warga, buaya mampir ke sungai-sungai di pinggiran kota, juga gajah dan orangutan masuk ke pemukiman.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menjelaskan, itu terjadi karena wilayah jejak dan rumah mereka menyempit, bahkan hilang, dan mereka tidak punya makanan lagi di dalam hutan.
“Kalau habitat mereka terjaga, rumah mereka aman-aman saja, mereka tidak akan masuk ke area pemukiman. Jika diibaratkan dengan manusia, mereka tergusur dari rumahnya. Kalau digusur, kita mau tinggal di mana?”
Satwa yang tergusur dan masuk ke perkampungan itu terkadang dianggap sebagai hama oleh sebagian masyarakat, hingga kemudian dibunuh. Selain karena perburuan liar, habitat satwa yang rusak itu juga berpengaruh besar terhadap jumlah satwa liar yang dilindungi yang terus berkurang.
“Padahal, mungkin mereka datang ke pemukiman hanya ingin minta tolong,” kata Iola.
Banyak hal yang membuat habitat satwa itu hilang. Antara lain, deforestasi, alih fungsi hutan dan lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit skala besar, industri perhutanan, pertambangan atau pembangunan infrastruktur yang memerlukan pengeringan lahan gambut, sehingga terjadi kerusakan yang berakibat kebakaran hutan dan lahan gambut.
Padahal, lahan gambut Indonesia memegang peran penting bagi dunia. Lahan gambut di Indonesia yang luasnya mencapai 15 juta – 20 juta hektar mampu menyimpan sekitar 53 – 60 miliar ton karbon. Ini berarti Indonesia menjadi salah satu kawasan utama penyimpan karbon dunia.
Kalau cadangan karbon yang tersimpan di tanah terlepas ke udara, maka karbon ini bisa menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.
Di Hari Binatang Sedunia pada 4 Oktober, tiba waktunya #mudamudibergerak untuk menyelamatkan 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan, yang hidup di lahan gambut.
Ini 5 hal yang bisa kita lakukan:
1. Jangan beli dan pelihara satwa langka
Percaya atau tidak, angka perdagangan satwa liar terbilang tinggi di dunia. Posisinya berada di nomor empat, setelah perdagangan manusia, senjata, dan narkoba. Banyak orang beranggapan, satwa yang telah keluar dari habitatnya boleh ditangkap dan diperjual-belikan di kota.
Dr. Herlina Agustin S.Sos, M.T.,peneliti di Pusat Studi Ilmu Komunikasi Lingkungan, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, mencontohkan, di Lampung sering terjadi penyelundupan burung liar.
Burung tersebut kemudian dikirim ke kota-kota di Pulau Jawa, karena Jawa menjadi pusat penjualan satwa terbesar di Indonesia.
“Ketika satwa sudah dipelihara oleh manusia, proses rehabilitasinya akan sulit sekali. Perlu waktu bertahun-tahun untuk membuat satwa itu kembali berfungsi sesuai kodratnya di alam. Proses adaptasinya butuh waktu lama. Mereka yang sudah terbiasa diberi makan, harus mencari makanan sendiri saat hidup di alam lepas,” kata Titin, sapaan akrab dosen Jurusan Jurnalistik, UNPAD, ini.
Padahal, menurutnya, satwa liar memiliki peran dan fungsi di alam yang tidak bisa tergantikan oleh manusia, bahkan mesin sekalipun.
Misalnya, serangga. Jika serangga punah, maka penyerbukan tanaman akan terganggu. Akibatnya, tidak ada hasil tanaman yang dapat dipanen.
“Kepunahan serangga akan mempercepat kepunahan manusia, secepat apa pun manusia berusaha untuk menggantikan fungsi serangga. Sebagian spesies serangga kini sudah masuk dalam satwa langka yang harus dilestarikan,” katanya.
Lola menambahkan, perdagangan satwa langka juga merambah media sosial. Karena itu, ia berharap Anda berani melaporkan segala aktivitas perdagangan satwa langka kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat.
2. Edukasi soal satwa
Titin menyebutkan, melalui muatan lokal yang terangkum dalam kurikulum sekolah, guru bisa menjelaskan tentang habitat satwa di sekitar lingkungan sekolah itu. Misalnya, siswa perlu berhati-hati ketika melewati daerah sungai karena area itu merupakan habitat buaya.
Guru juga bisa mengingatkan pentingnya mematuhi papan larangan yang sudah diletakkan di sana. Dengan begitu, konflik antara manusia dan hewan liar bisa diminimalkan.
“Namun, edukasi ini tidak mudah, karena media sosial diramaikan oleh para selebgram yang sibuk memamerkan binatang peliharaan mereka, yang sebenarnya tidak boleh dipelihara. Misalnya, monyet. Orang jadi tertarik untuk membeli juga, terutama anak-anak. Ketika anak jadi penggemar selebgram tersebut, mereka jadi sulit memahami soal konservasi,” kata Titin, yang merupakan aktivis perlindungan fauna Indonesia.
Jika Anda adalah orang awam yang belum punya banyak pengetahuan soal fauna, Anda bisa berkolaborasi dengan mereka yang punya pengalaman di lapangan.
Titin mencontohkan, sekolah bisa bekerja sama dengan BKSDA atau jagawana yang menjaga hutan sekitar sekolah. Mereka bisa menceritakan kisah-kisah memilukan tentang satwa yang mati karena tersiksa oleh jerat pemburu atau mati karena kebakaran yang disebabkan oleh puntung rokok.
Sebetulnya, kebun binatang harus menjadi sarana edukasi soal satwa, bukan hanya sebagai sarana hiburan. Tapi, perilaku hewan di sana harus dibuat seperti di habitat aslinya. Titin melihat hal ini sulit dilakukan, karena luas areanya tidak memungkinkan.