POJOKNEGERI.COM - Gelombang kritik atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah aturan terkait batas minimal usia kepala daerah masih terus bermunculan.
Putusan yang diambil secara kilat ini dianggap mengandung banyak masalah, tidak hanya karena dinilai memuluskan jalan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju sebagai calon gubernur.
Pakar hukum tata negara sekaligus dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti berpandangan bahwa petimbangan hukum putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 itu sangat dangkal.
“Saya sudah membaca detail putusannya sampai saya catat nomor halamannya, kita akan bisa melihat bahwa pertimbangan hukum hakim itu sebenarnya sangat dangkal,” ucap Bivitri Susanti.
Beberapa indikasi dari dangkalnya putusan MA tersebut adalah membuat acuan pada UUD 1945.
Padahal, seharusnya tidak dilakukan oleh MA dalam kewenangannya melakukan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Kemudian, putusan MA tidak mejelaskan mengenai penafsiran tekstual atau original intent dari UU Nomor 10 Tahun 2016 yang disebut mengakomodasi anak muda.
Oleh karena itu, menurut Bivitri, wajar jika putusan MA tersebut akhirnya dicurigai keluar untuk mengakomodasi kepentingan politik pihak tertentu terkait Pilkada 2024.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun menilai putusan MA yang mengubah ketentuan mengenai syarat usia calon kepala daerah sebagai putusan yang sontoloyo.
Menurut Refly, UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah syarat administrasi seseorang untuk mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, bukan untuk dilantik.
“Saya mengatakan itu putusan-putusan sontoloyo. Coba bayangkan, kan kalau kita baca UU Nomor 10 Tahun 2016, itu jelas syarat untuk mencalonkan diri atau dicalonkan Anda harus berusia 30 tahun,” tegas Refly Harun.
Refly berpendapat, KPU tidak harus mengikuti putusan MA tersebut karena bertentangan dengan UU 10/2016.
Ia mengingatkan, posisi undang-undang lebih tinggi ketimbang PKPU sehingga KPU bisa mengabaikan putusan MA dengan mengembalikan aturan main pada undang-undang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sorotan utama publik atas putusan ini adalah implikasi putusan yang membuka pintu bagi Kesang untuk maju sebagai calon gubernur.
Seperti diketahui, sebelum putusan ini diambil, Kaesang tidak dapat maju sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur karena belum berusia 30 tahun.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Walikota menyatakan bahwa salah satu syarat calon gubernur dan wakil gubernur adalah berusia 30 tahun ketika ditetapkan sebagai pasangan calon.
Kaesang sendiri baru berulang tahun yang ke-30 pada Desember 2024 mendatang, sedangkan KPU menjadwalkan penetapan calon kepala daerah pada September 2024.
Namun, MA mengubah ketentuan tersebut menjadi calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia 30 tahun ketika dilantik, bukan saat ditetapkan sebagai calon.
Akibatnya, Kaesang dapat maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur karena pelantikan akan dilakukan pada 2025 ketika ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu sudah berumur 30 tahun.
Refly menganggap putusan MA itu sarat dengan urusan politik untuk mengakomodasi kepentingan Kaesang.
Ia pun menilai putusan MA sebagai kemunduran demokrasi, sama ketika Mahkamah Konstitusi mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang membuat kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka, dapat berlaga di Pemilihan Presiden.
Asumsi publik ini muncul putusan MA ini keluar ketika poster yang menggambarkan Kaesang akan maju pada Pilkada Jakarta bersama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Budisatrio Djiwandono tersebar di media sosial.
Sejumlah petinggi PSI sebelumnya juga telah mengapungkan isu untuk mengusung Kaesang pada Pilkada Jakarta, seandainya ketua umum mereka itu dapat memenuhi syarat usia.
Namun, PSI membantah bahwa putusan MA itu berkaitan dengan ketua umumnya.
Sebab, perkara yang diputus oleh MA itu diajukan oleh Partai Garda Republik Indonesia (Garuda).
Partai Garuda selaku pemohon uji materi juga membantah gugatan itu mereka layangkan untuk membuka jalan politik bagi Kaesang saja.
Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika mengeklaim, partainya menggugat ketentuan batas usia calon kepala daerah karena ingin membuka ruang bagi anak muda yang ingin menjadi kepala daerah.
Merespons polemik yang muncul, Komisi Yudisial (KY) telah menginstruksikan Tim Pengawasan Perilaku Hakim (Waskim) dan Investigasi untuk mendalami putusan MA tentang perubahan minimal batas usia calon kepal daerah.
Pendalaman itu akan menjadi dasar bagi KY untuk melakukan pertimbangan hukum terhadap majelis hakim MA yang memutus perkara itu.
Anggota sekaligus Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata mengemukakan bahwa lembaganya tetap menaruh perhatian atas putusan tersebut meskipun tidak berwenang untuk mengintervensi.
"KY menaruh concern atas putusan ini karena putusan ini juga menentukan pilkada yang jujur dan adil, yaitu soal uji materi terhadap peraturan KPU yang memang menjadi kewenangan Mahkamah Agung," ucap Mukti Fajar Nur Dewata.
Mukti menilai hakim seharusnya perlu menjaga rasa keadilan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap putusan tersebut, sekaligus untuk pelaksanaan demokrasi yang lebih baik.
Ia kemudian mempersilakan publik untuk melapor apabila menemukan dugaan pelanggaran kode etik hakim dengan menyertakan bukti pendukung agar KY bisa menindaklanjuti laporan tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Sementara itu, MA mempersilakan bila KY hendak mendalami putusan lembaganya perihal perubahan minimal batas usia calon kepala daerah.
Namun, MA menegaskan bahwa hakim tetap memiliki otoritas di dalam mengambil keputusan. (*)