Semua dilakukan dalam koridor hukum, melalui pembentukan peraturan perundang undangan dan penegakan hukum, namun karena ada kebutuhan menekankan pada aktor konkrit dan rencana aksi, autocratic legalism lebih mampu menjelaskan fenomena belakangan ini.
Tujuan Autocratic Legalism ini, Bivit menjelaskan hal ini untuk memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik bagi kelompok tertentu.
Dalam konteks sistem politik Indonesia, pengambil keuntungan tidak kekuasaan eksekutif, tetapi juga kekuasaan legislatif. Karena itu pelemahan tidak hanya dilihat dari lemahnya DPR secara institusi, tetapi bagaimana aktor-aktor di lembaga legislatif berkelindan dengan lembaga eksekutif.
"Bukan untuk kekayaan tanah air bangsa, tapi orang yang punya benturan kepentingan dengan banyak sekali bisnis dimana saja yang kita sebut oligarki, jadi penguasa masuk dalam pengambilan keputusan, akhirnya menjadi kasuistik," ungkapnya.
Hari ini sudah ada berbagai undang-undang yang dibentuk sangat cepat disahkannya seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan berbagai kebijakan lainnya yang sudah ada dan akan datang, dibuat setelah ada pelemahan pada pengawasan eksekutif.
"Autocratic Legalism lebih berbahaya daripada otoritarianisme dengan senjata karena situasi dianggap baik-baik saja karena legal, padahal bermasalah secara substansi demokrasi dan negara hukum," katanya.
Dalam diskusi ini, Bivit menyebutkan Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) yang telah disahkan dengan waktu yang sangat singkat, namun masyarakat adat tak diajak bicara oleh pemerintah yang akan memindahkan ibu kota ke Penajam Paser Utara (PPU).