POJOKNEGERI.COM - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau kering, yang berdampak terhadap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berpotensi terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
"Dengan adanya prediksi El Nino berarti wilayah Indonesia berbalik mengalir ke Samudra Pasifik sehingga Indonesia menjadi kering karena aliran masa udara ini bergerak ke Samudra Pasifik," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers, Jumat (27/1).
Selama tiga tahun berturut-turut, katanya, Indonesia mengalami musim kemarau yang basah atau curah hujan berlebih akibat fenomena La Nina 70 persen bahkan sampai 100 persen.
"Tadinya kemarau basah [tahun ini] menjadi netral artinya tidak basah lagi, selayaknya kemarau biasanya. Normal itu kurang lebih seperti tahun 2018. Itu berarti [2023] lebih kering dari 2020-2022," jelasnya.
Sejauh ini, Dwikorita mengungkap intensitas La Nina terus melemah.
Hal itu terlihat dari indeks El Nino Southern Osciliation (ENSO) di 10 hari pertama Januari 2023 mencapai 10,08 dan semakin menuju netral.
Kondisi tersebut akan terus berlangsung hingga akhirnya indeks menjadi netral pada Maret 2023.
"Kondisi ENSO netral ini akan terus bertahan hingga pertengahan 2023. Jadi Mei-Juli itu indeksnya bertahan netral," kata Dwikorita.
El Nino sendiri terjadi karena pemanasan Suhu Muka Air Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Pemanasan ini menyebabkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan.
"Singkatnya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum," dikutip dari keterangan BMKG NTB.
Dwikorita mengungkapkan kondisi kemarau kering itu berlangsung hingga enam bulan ke depan.
"Hingga enam bulan ke depan, BMKG memprediksi sifat hujan bulanan di tahun 2023 ini akan relatif menurun. Curah hujan bulanan akan relatif menurun dibandingkan curah hujan 3 tahun terakhir," tuturnya.
Dodo Gunawan, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, menambahkan El Nino lemah punya peluang 50 persen hadir pada Juni hingga Agustus.
"Dampak kekeringan ya. Ini curah hujan berkurang. Kita harus mengantisipasi kekeringan, tapi insyaallah enggak panjang, Oktober semoga sudah selesai," urainya.
Daerah terdampak
Dwikorita mengungkap penurunan curah hujan mulai terjadi beberapa wilayah, seperti Sumatera bagian tengah, Kalimantan bagian tengah, dan sebagian Papua.
"Perlu dicermati yang berwarna coklat-coklat (curah hujan rendah) mulai muncul di bulan Februari di Riau, Sumut, dan Jambi. Ini merupakan indikasi bahwa curah hujan bulanan menurun artinya rendah. Itu bisa dianggap sebagai kemarau," tutur dia.
"Juga terjadi di Sulawesi dan di Papua. Perlu diwaspadai terjadi karhutla," lanjut Dwikorita.
Bulan berikutnya, BMKG mengungkap daerah lain yang mulai terdampak adalah Riau, Pulau Madura, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara.
"Juni-Juli semakin merona oranye-coklat, artinya curah hujan semakin rendah dan semakin luas," jelas Dwikorita, "Ini makin meluas seluruh Indonesia."
Terpisah, Bill McGuire, profesor risiko iklim dan geofisikal di University College, London, Inggris, memperingatkan fenomena El Nino ini akan membuat suhu dunia makin panas dan berdampak pada masalah pangan hingga biaya hidup.
"Terlepas dari apakah cuaca menjadi cukup panas atau tidak dengan berkembangnya El Niño sepenuhnya, tahun 2023 memiliki peluang yang sangat bagus, tanpa pengaruh pendinginan La Niña, untuk menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat," cetusnya, dikutip dari Wired.
Menurutnya, batas kenaikan suhu rata-rata global yang masih dianggap aman adalah 1,5°C.
Di atas angka ini, kata dia, "iklim kita yang dulunya stabil akan mulai runtuh dengan sungguh-sungguh, menyebar ke mana-mana, memengaruhi semua orang, dan menyusup ke dalam setiap aspek kehidupan kita."
Pada 2021, angka kenaikan suhu dibandingkan dengan rata-rata 1850-1900 adalah 1,2°C. Pada 2019 atau sebelum perkembangan La Niña saja, kenaikan suhu mencapai 1,36°C.
"Saat panas meningkat lagi di 2023, sangat mungkin kita akan menyentuh atau bahkan melebihi 1,5°C untuk pertama kalinya," cetus McGuire.
Apa efeknya? Ia mengungkap prediksi mengerikan.
"Suhu yang lebih tinggi akan berarti kekeringan parah akan terus terjadi, memangkas hasil panen di banyak bagian dunia."
"Akibat kekurangan pangan di sebagian besar negara, kerusuhan sipil bisa terdorong, sementara kenaikan harga di negara maju akan terus memicu inflasi dan krisis biaya hidup," tandas McGuire.
(redaksi)