DPRD Kaltim Perkuat Dasar Hukum Tekan Kerusakan Lingkungan

POJOKNEGERI.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur terus menunjukkan komitmen serius dalam memperkuat tata kelola lingkungan hidup di provinsi yang berjuluk Benua Etam ini.
Melalui Panitia Khusus (Pansus) Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (P3LH), lembaga legislatif kini memasuki tahap akhir pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) P3LH.
Raperda ini dengan harapan mampu menekan laju kerusakan alam sekaligus memperkuat sistem pengawasan lintas sektor.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) kembali bergulir di Gedung DPRD Kaltim, Senin (3/11/2025) malam tadi.
Pansus menghadirkan para akademisi, praktisi, dan pemerhati lingkungan. Hal ini untuk memberikan masukan akhir sebelum draf perda ke tahap uji publik dan konsultasi ke kementerian.
Ketua Pansus P3LH, Guntur, menegaskan bahwa perda ini bukan sekadar dokumen normatif, melainkan instrumen hukum strategis untuk memperbaiki tata kelola lingkungan. Provinsi yang selama ini terkenal sebagai lumbung sumber daya alam, namun juga menghadapi tekanan berat akibat aktivitas eksploitasi tambang, perkebunan, dan industri ekstraktif.
“Kita tahu kondisi lingkungan di Kaltim sudah rusak parah. Minimal, perda ini bisa menjadi instrumen untuk menekan laju kerusakan,” tegas Guntur.
Menurut Guntur, sejak awal pembahasan, pansus telah melakukan studi komparatif ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta meninjau perda serupa di Jawa Tengah.
Namun, karena karakteristik wilayah berbeda — Jawa Tengah berorientasi industri, sementara Kaltim berbasis sumber daya alam — maka penyusunan perda ini harus menyesuaikan dengan konteks lokal.
“Kami ingin regulasi ini sesuai dengan kebutuhan daerah. Bukan hanya meniru, tapi membangun aturan yang relevan untuk kondisi Kaltim,” jelasnya.
Himpun Masukan OPD
Pansus juga menghimpun masukan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan para pelaku usaha di sektor pertambangan, perkebunan, dan perikanan. Pendekatan inklusif ini dinilai penting agar perda yang dihasilkan nantinya bisa diterapkan secara realistis dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarinstansi.
“Pelaku usaha akan menjadi pihak yang menjalankan, Dinas Lingkungan Hidup mengawasi, dan kami di legislatif melakukan monitoring. Kami ingin semua pihak merasa memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Salah satu poin krusial dalam pembahasan ranperda ini adalah penekanan pada aspek pengawasan dan penegakan sanksi administratif. Guntur menjelaskan bahwa dalam draf awal, pansus memilih menonjolkan sanksi administratif dibandingkan pidana, dengan pertimbangan efektivitas dan orientasi pada pemulihan lingkungan.
“Sanksi pidana seperti denda Rp50 juta itu tidak efektif. Maka kami arahkan perda ini fokus pada penegakan administratif. Sedangkan ketentuan pidana tetap mengacu pada regulasi yang lebih tinggi seperti PP atau undang-undang,” terang Guntur.
Langkah ini diambil agar pelanggaran lingkungan tidak hanya berhenti pada proses hukum, tetapi juga mendorong pemulihan ekosistem secara nyata. Dengan sanksi administratif, pelaku usaha atau individu yang melanggar akan diwajibkan melakukan tindakan korektif, seperti reklamasi, reboisasi, atau pengelolaan limbah lanjutan.
Para akademisi yang hadir dalam forum tersebut turut menyoroti pentingnya mekanisme pengawasan terukur agar penegakan administratif tidak berhenti di atas kertas. Mereka mendorong agar perda juga memuat ketentuan tentang keterlibatan publik, termasuk peran masyarakat dalam memantau pelaksanaan kebijakan lingkungan.
Penyempurnaan Perda
Sementara itu, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, memastikan bahwa proses penyempurnaan ranperda akan dilakukan secara hati-hati, mendalam, dan terbuka terhadap kritik. Ia menyebut bahwa pembahasan kali ini sudah memasuki tahap krusial, di mana seluruh substansi utama telah dimatangkan bersama para ahli.
“Banyak masukan yang kami terima, terutama terkait sanksi dan kewenangan. Semua sudah terekam dengan baik, termasuk pembahasan soal baku mutu yang akan dimuat di dalam perda,” kata Bahar.
Dalam rapat tersebut, pansus mengundang sembilan akademisi dan enam lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan. Meski tak seluruhnya hadir, pansus tetap menampung seluruh masukan tertulis yang diberikan peserta.
“Pembahasan lanjutan akan kami lakukan dua hari di Balikpapan, termasuk bersama tim penyusun naskah akademik,” tambahnya.
Bahar menyampaikan bahwa DPRD Kaltim menargetkan penyempurnaan naskah ranperda rampung sebelum 30 November 2025. Hal ini agar dapat segera di serahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk evaluasi dan sinkronisasi.
“Kami tidak ingin paripurna dulu baru dievaluasi. Targetnya, akhir bulan ini draf sudah masuk ke Kemendagri,” tegasnya.
Pengesahan Dijadwalkan Akhir Tahun Anggaran
Setelah mendapat evaluasi, ranperda akan di jadwalkan masuk ke rapat paripurna pengesahan sebelum akhir tahun anggaran. DPRD berharap, perda ini nantinya dapat menjadi payung hukum utama dalam tata kelola lingkungan hidup di Kaltim. Tidak hanya menekan praktik eksploitasi berlebihan, tetapi juga mendorong pelaku usaha untuk berkomitmen pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Lebih jauh, perda ini juga dapat menjadi fondasi menuju transformasi ekonomi hijau (green economy) di Kaltim. Dengan penegakan yang kuat, kebijakan ini bisa mengarahkan investasi dan kegiatan ekonomi daerah agar tetap selaras dengan prinsip keberlanjutan.
Melalui regulasi yang terukur, DPRD berharap sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat dapat menciptakan pola pengelolaan lingkungan yang adil, berimbang, dan berorientasi jangka panjang.
“Ini bukan hanya tentang hukum, tapi tentang masa depan Kalimantan Timur. Kalau lingkungan hancur, ekonomi kita ikut jatuh,” tutup Guntur.
(tim redaksi)
