POJOKNEGERI.COM - Pembangunan Indonesia menuju peradaban yang lebih baik selalu mendapatkan tentangan dari sejumlah aktivis lingkungan.
Bukan tanpa alasan, pasalnya para aktivis yang vokal terhadap lingkungan kerap melihat, bahwa pembangunan yang terjadi kerap mengabaikan aspek penting kekayaan alam yang adil dan lestari.
Hal itu diutarakan para aktivis pada saat memperingati Hari Bumi yang jatuh pada Jumat (22/4/2022) saat ini. Dijelaksan Yohana Tiko, Direktur ED Walhi Kaltim bahwa dalam paradigma pembangunan investasi banyak mengesampikan hak-hak masyarakat dalam aspek sosial dan keelokan atau tata cara mengelola sumber daya alam.
Kemudian instrument hukum dan kebijakan, penggunaan kewenangan, alasan pemerataan ekonomi dan peningkatan taraf hidup, perlibatan dan persetujuan masyarakat yang sebetulnya minim, berbagai konsep hebat dan mapan lainnya selalu dijadikan alat dan senjata oleh para penguasa negara, para bandit, untuk merampas tanah, air, udara, serta kemelimpahan alam.
Sementara manipulasi, tipu-menipu, kriminalisasi, pengancaman, penculikan, paksaan, serta sederet kekejaman lainnya di pakai oleh para penguasa negara untuk memuluskan rencana perampasan sumber dan wilayah kelola masyarakat tersebut.
Salah satu contohnya, lanjut Yohana Tiko, dari hasil survei dan kajian Kalimantan Timur adalah bumi yang sudah kotor dan penuh polutan, 73% dari total luas kawasannya telah dibebani oleh perizinan ekstraktif.
"Ada 1,32 Juta Hektar luas perkebunan sawit dengan 332 Korporasi yang mencaplok wilayah ini. Kemudian ada 5,3 Juta Hektar lahan tercaplok untuk keperluan energi kotor pertambangan batubara serta sisanya yakni seluas 4,8 Juta Hektar dicaplok untuk konsesi HPH dan HTI," sebut Tiko dalam siaran tertulisnya yang diterima media ini.
Penggusuran lahan adat di Desa Long Bentuq adalah contoh kecil, yang mana penggusuran lahan pertanian warga di 3 Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, konflik lahan antara masyarakat dengan Perusahaan HTI di Desa Lebak Cilong, sengketa lahan adat Suku Dayak di Desa Jembayan dengan pertambangan batubara, serta 52 konflik tanah lainnya, dapat menjadi bukti bahwa betapa tidak beresnya kinerja Pemerintah atas tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Timur.
"Seakan tidak puas atas gencarnya serbuan arus perampokan dengan dalih investasi dan pelum pulihnya kondisi ekologis yang ada. Pemerintah Indonesia, para bandit, kembali menghadirkan beban baru pada lingkungan hidup dan masyarakat Kalimantan Timur melalui pembangunan Ibu Kota Baru," serunya lagi.
Turut menambahkan, Buyung Marajo Koordinator Pokja 30 Samarinda mengingatkan bahwa penerbitan kebijakan yang tidak diawali dengan prinsip keadilan hanya akan menjadi sumber konflik.
"Sejak awal, penetapan Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan Timur sudah mengabaikan suara dan hak masyarakat adat serta masyarakat lokal yang ada di Kalimantan Timur. Terlebih suara masyarakat asli yang nantinya wilayah mereka akan dibongkar untuk pembangunan Ibu Kota," pungkasnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)