POJOKNEGERI.COM - Pro dan kontra mewarnai keputusan Presiden Jokowi untuk 'cawe-cawe' ikut campur urusan Pilpres 2024.
Pernyataan Presiden Jokowi menuai polemik.
Tak sedikit yang menganggap itu sebagai salah satu langkah untuk memuluskan langkah salah satu capres.
Bahkan, Presiden Jokowi blak-blakkan tidak akan netral.
Presiden Jokowi pun dikecam, terutama dari kubu partai di luar koalisi pemerintah.
Presiden Jokowi mengambil keputusan untuk cawe-cawe atau terkait Pilpres 2024 mendatang.
Ia menyampaikan niatnya untuk berpartisipasi aktif dengan alasan kepentingan nasional.
"Karena itu saya cawe-cawe. Saya tidak akan netral karena ini kepentingan nasional," ucap Jokowi.
Jokowi menekankan bahwa hal tersebut akan dilakukan dengan cara yang positif dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo tersebut menegaskan bahwa pemilihan pemimpin pada 2024 adalah hal yang sangat krusial dan penting untuk Indonesia, bukan hanya tentang lima tahun ke depan, tapi tentang masa depan Indonesia hingga 2030.
"Kesempatan kita hanya ada 13 tahun ke depan. Begitu kita keliru memilih pemimpin yang tepat untuk 13 tahun ke depan, hilanglah kesempatan untuk menjadi negara maju," tuturnya.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun mengungkapkan tiga kesalahan mendasar dari jalan pikiran Presiden Jokowi kala menyatakan tak akan netral di Pilpres 2024.
Pertama, Ubedilah menilai Jokowi salah memahami dirinya sebagai seorang Presiden.
Dia menjelaskan, presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Pemilu adalah agenda negara sekaligus agenda pemerintahan yang mesti ditunaikan sesuai jadwal lima tahun sekali.
Secara moral politik kenegaraan, posisi presiden melekat sebagai pemimpin aparatur sipil negara.
Jika ASN diwajibkan netral, maka presiden mestinya menjalanan fungsi lebih moralis dibandingkan ASN.
Kedua, Ubedillah menyebut presiden sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY serta Megawati Soekarnoputri, sudah mencontohkan bahwa urusan pencapresan berada di tangan partai politik.
Ubedilah menyebut kesalahan Jokowi dalam konteks tersebut adalah sibuk membuat Koalisi Indonesia Bersatu yang digawangi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Selain itu, RI 1 ini juga sibuk mengurusi Musyawarah Rakyat (Musra) yang digelar Projo.
Ketiga, Jokowi masih menggunakan jalan pikiran pemerintahan Soeharto.
Dia menjelaskan, rezim Soeharto menjalankan pemerintahannya dengan dipandu oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dibuat MPR sehingga ada rencana pembangunan lima tahunan dan jangka panjang 25 tahunan.
Kala itu, masa periode Presiden tidak dibatasi.
Sehingga, jalannya negara bisa dibayangkan 25 tahunan oleh satu visi pemerintahan saja.
Adapun saat ini, Ubedilah menyebut Indonesia menggunakan sistem presidensial murni.
Sehingga, Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan jalannya pemerintahan selama 5 tahun ke depan merupakan otoritas Presiden yang dipilih.
“Jadi cawe-cawe Jokowi dengan alasan demi untuk melanjutkan programnya adalah kesalahan memahami sistem Presidensial murni saat ini yang Presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Jokowi memang sepertinya kurang belajar tentang sistem pemerintahan dengan baik," ungkapnya.
(redaksi)